Jalan hidup setiap orang pasti selalu berbeda.
Jangan pernah iri dengan kehidupan mereka,
sebab tuhan telah merencanakan sesuatu yang sempurna untuk setiap jalan hidup hambanya.─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
27 Februari 2024.
Telah genap 14 hari Rea berada di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang khas itu. Jangan tanyakan bagaimana kondisinya saat ini, sebab tentu saja ia masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan sebagian tubuh yang sama sekali tak bisa digerakkan.
Meski begitu, ia tetap bersyukur sebab tuhan masih memberinya kesempatan hidup bahkan setelah dirinya mengalami cedera saraf sekaligus patah tulang belakang akibat insiden kemarin. Ah benar, jangan lupakan pendarahan yang terjadi di otaknya.
Apakah tuhan mendengar permintaannya kala itu?
Rea melenguh untuk kesekian kalinya ketika kembali merasakan nyeri luar biasa di sekitar area punggung atas dan pinggangnya. "Kenapa, Re? Sakit lagi?" tanya Gea dengan raut wajah khawatir. Pemuda itu memangguk lesu sebagai jawaban.
Gea segera menekan tombol berwarna merah yang berada tepat di atas kepala Rea. Hingga tak lama kemudian seorang wanita muda berpakaian serba putih dengan membawa beberapa alat kesehatan ditangannya masuk ke dalam ruangan di mana Rea menjalani rawat inap.
"Nyeri lagi, ya?" tanya perawat itu sekedar memastikan.
Tanpa harus menunggu jawaban dari Rea, wanita muda itu langsung melakukan tindakan medis yang harapannya dapat meringankan rasa sakit di punggung Rea.
Setelah mengusapkan kapas yang sudah diberi cairan alkohol, sang perawat kemudian menyuntikkan obat pereda nyeri tepat di pusat rasa sakit itu.
Rea menggigit bibir bawahnya hingga terlihat memerah, kuku-kuku pada jemarinya menekan kuat-kuat telapak tangannya sendiri hingga tercetak bentuk lengkungan ujung kuku di sana.
"Oke, sudah selesai," ujar wanita itu sambil perlahan menarik jarum suntik dari dalam tubuh Rea. Sehabis melakukan apa yang harus ia lakukan sebagai perawat, wanita itu langsung mengemasi alat-alat kesehatan sebelum akhirnya pamit keluar.
Gea berjalan mendekat, kemudian meletakkan pantatnya pada bangku besi yang letaknya berada tepat di samping brankar. "Udah mendingan?" tanya Gea memecah keheningan.
Rea memangguk kecil sambil tersenyum tipis, meski obat yang baru disuntikkan tadi belum bereaksi apalagi mengurangi rasa sakit di tubuhnya. "Gea," panggil Rea singkat. Seseorang yang dipanggil pun menoleh ke arahnya. "Kenapa?"
"Ternyata jadi seorang Geazie Alfansya Maheswara nggak semudah yang gue kira," tutur Rea tiba-tiba. Gadis itu menyerngit heran, tak paham dengan maksud ucapan Rea barusan. "Maksud lo?"
"Waktu umur lo masih sekitar 4 tahunan, gue selalu iri liat lo dimanja ayah sama bunda. Mereka sering beliin lo mainan, jajanan, atau apapun hal yang terucap dari bibir lo. Mereka selalu nurutin apapun yang lo minta," Rea menjeda ucapannya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue paling benci kalo lo masuk rumah sakit. Bunda sama ayah semakin gencar nurutin kemauan lo. Sedangkan gue? Gue cuma bisa nunggu di rumah sama abang, dan selalu nahan semua hal yang gue pengenin. Tapi sekarang gue sadar kenapa mereka selalu berusaha buat lo seneng terus--"
"Ternyata sesakit ini, bahkan gue hampir nangis cuma karena suntikan kecil tadi. Lo lebih kuat dari yang gue kira, Ge." Terdengar isakan kecil diakhir kalimat yang ia ucapkan.
Netra Gea seketika berembun setelah mendengar penuturan kakaknya itu. "Rea," kini Gea yang memanggil. Namun orang yang dipanggil tidak menoleh, dan tetap memandang ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A DOCTOR [TERBIT]
Teen Fiction•--Dilarang mengcopy ataupun plagiat dari segi apapun, karena author buatnya juga dari ide sendiri--• •--Berikan kritik dan masukan secukupnya, jangan lupa pake tata bahasa yang baik dan sopan yaa--• •--Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan k...