Bahkan benda berukuran kecil pun bisa memiliki kenangan yang begitu besar.
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Setelah hampir setengah hari merasakan lelahnya menjadi seorang waiter, Rea pikir Gea akan kapok dan tidak lagi meminta untuk ikut ke resto tempatnya bekerja. Tapi kenyataannya malah sebaliknya. Gea selalu meminta Rea untuk ikut bersamanya.
Rea memang pernah beberapa kali menuruti permintaan Gea setiap dirinya mendapatkan jatah shift pagi. Namun setiap adiknya ikut bersamanya, Sean dengan para komplotannya selalu datang ke resto. Entah sebuah kebetulan atau bukan, tapi Rea merasakan akan terjadi hal buruk jika ia terus mengajak Gea ke tempatnya bekerja.
Meski awalnya Gea sering mengomel karena tidak lagi diperbolehkan berkunjung ke resto, akan tetapi lama-kelamaan sepertinya Gea mulai mengerti alasan mengapa Rea melarangnya. Jadi gadis itu sudah tidak lagi 'ngambek' setiap akhir pekan.
Ah, tidak terasa sudah hampir 2 bulan ia tinggal bersama adiknya. Rea bersyukur sebab selama itu pula tidak ada masalah dengan hubungan persaudaraannya. Padahal sebelum keduanya tinggal bersama, tidak ada istilah 'akur' dalam kamus mereka.
"Gosong, woy!" Rea terpenjat ketika Gea tiba-tiba menabok bahunya kasar. Ternyata sedari tadi ia melamun. Dengan segera Rea meniriskan ayam goreng yang sudah setengah gosong itu.
Ah, sepertinya memang tidak ada istilah 'akur' dalam kamus mereka.
"Becus masak nggak sih, goreng ayam aja sampe gosong gitu." gerutu gadis itu. Rea mengangkat salah satu alisnya, "emangnya lo bisa masak?"
Skakmat. Kalau Rea dikatai tidak becus memasak, lantas apa kata-kata yang cocok untuk Gea?
Gea mengerucutkan bibirnya, ucapan Rea sangat menohok hati lembutnya. "Iya, iya, gue nggak bisa masak." Ia melangkah kasar menuju meja makan sambil membawa sepiring nasi beserta ayam goreng setengah gosong buatan Rea.
"Hari ini gue libur," celetuk Rea yang ikut duduk di meja makan berhadapan dengan Gea. "Nggak nanya, sih." Kini Rea yang mengerucutkan bibirnya.
Setelahnya, kegiatan sarapan bersama itu diselesaikan dengan penuh keheningan. Mereka hanyut dalam lamunannya masing-masing. Keheningan itu terus berlanjut hingga ketika Gea hendak berangkat ke sekolah.
"Lo berangkat sama siapa?" tanya Rea heran. Pasalnya tumben sekali Gea tidak ribut menyuruhnya cepat-cepat menyiapkan motor seperti biasanya. "Sama Elang," balas Gea singkat.
"Eh, kok lo tau kalo gue bakal berangkat sama orang lain?" Gea melirik singkat ke arah Rea yang sibuk dengan ponselnya. "Apa sih yang nggak gue tau?" ucap Rea menyombongkan diri.
Gea mengidikkan bahunya, terkadang ia geli sendiri dengan kelakuan random kakaknya itu. Tak butuh waktu lama setelah obrolan keduanya, terdengar deru mesin kendaraan roda dua yang berhenti di halaman rumah mereka.
"Tuh, Elang udah sam--" Belum sempat Rea menyelesaikan kalimatnya, Gea sudah lebih dulu beranjak menghampiri Elang yang telah berada di balik pintu ruang tamu. Rea memutar bola matanya, padahal jika dirinya yang ada di balik pintu itu pasti Gea tidak akan menyambut. Bahkan untuk membukakan pintu saja harus diteriaki dulu.
"Enak banget lo dateng-dateng disambut," sungut Rea yang telah berada di belakang tubuh pendek Gea. "Apa sih yang enggak buat gue?" Elang tersenyum sambil menaikturunkan alisnya. Tingkah Elang tentu membuat Rea ingin menonjok wajah kawan lamanya itu. "Ayo war sini."
"Udah ah, kalian ngapain sih?" lerai Gea yang muak dengan tingkah tom and jerry dua pemuda itu. "Hehehe, cuma main-main doang ini," gurau Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOME A DOCTOR [TERBIT]
Jugendliteratur•--Dilarang mengcopy ataupun plagiat dari segi apapun, karena author buatnya juga dari ide sendiri--• •--Berikan kritik dan masukan secukupnya, jangan lupa pake tata bahasa yang baik dan sopan yaa--• •--Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan k...