Kali Kedua Bersama Alinda | Short Story

21 - Undangan Mediasi

Berita perselingkuhannya tak bertahan lama, berganti dengan berita-berita baru yang lebih menarik, tapi tetap saja Alinda tidak bisa kembali ke permukaan untuk menunjukkan dirinya. Kini perutnya membulat, dan walaupun belum terlalu besar, orang bisa menilainya bahwa dia hamil.

Satu bulan setengah sudah dia tinggal di rumah kakaknya. Brian tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja ke Singapura sebab Brian tidak yakin Alinda bisa tinggal sendiri dengan kebiasaannya yang suka menyakiti diri. Dia perlu tahu tentang kesadaran Alinda tentang kondisinya yang hamil.

"Kamu tidak boleh egois, Alinda. Terserah setelah melahirkan anak ini kamu mau melakukan apa, bahkan jika kamu mau menyerahkan anak itu padaku dan Bunga, aku tak masalah, tapi selama kamu hamil, kamu harus jaga diri kamu. Untuk anak kamu, mengerti?" kata Brian tegas.

Alinda tidak mau sesumbar. Dia tahu dia bukan orang yang pandai menepati janji, ole karena itu dia mengangguk dengan perasaan tak yakin.

"Ini." Brian menyodorkan selembar kertas. "Surat dari Pengadilan."

Mata Alinda membelo. Dia menerima surat itu, gemetar. Dilihatnya jadwal mediasi untuknya dan Nathan.

"Negara ini negara hukum," lanjut Brian. "Meski pernikahan kalian takkan berakhir menurut agama, tapi menurut hukum di negara ini, kalian akan tetap bercerai. Alinda."

"Iya, Mas."

"Mas minta maaf tidak meyakinkan Nathan untuk bertahan denganmu. Sebenarnya Mas yakin jika dia tahu kamu hamil anaknya, dia pasti mengurungkan niatnya untuk bercerai, tapi dengan dia membawamu yang pingsan ke sini, kemarahan di wajahnya.. Mas tidak bisa memaksa kehendak."

Alinda mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa, Mas. Mas tidak usah minta maaf. Terima kasih Mas sudah memberi tumpangan di sini."

"Untuk mediasi besok, kata lawyer-ku kamu harus tetap datang, setelah itu kamu tak datang juga tak apa-apa. Untuk menyembunyikan kehamilanmu, aku sudah minta Bunga untuk belikan dress longgar."