Nathan teringat pada ucapan Romo beberapa hari sebelum dia menikahi Alinda. Saat itu dia duduk di Gereja dengan doa-doa yang dipanjatkan dalam hatinya.
"Bukankah seharusnya calon mempelai pria sibuk mengurus untuk acara nikahnya nanti?" tanya Romo Bernadus yang tahu-tahu duduk di sampingnya.
Nathan tersenyum masam. Perannya tidak terlalu penting untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan upacara pernikahannya, sebab Alinda dan keluarganya yang melakukannya.
"Saya ragu, Romo."
"Kenapa ragu?"
"Apakah saya cukup pantas untuk calon istri saya? Kami punya sifat dan sikap yang berbeda. Saya takut, saya tidak bisa menjaganya, tidak bisa..." Kalimat Nathan terhenti sejenak. Dia menatap Romo kalut. "Romo tahu siapa calon istri saya, bukan. Dia artis besar, dengan gaya hidup yang bebas. Bagaimana jika saya tidak bisa membuatnya bertobat?" Nathan menarik napas panjang. "Ya, setelah kanonik pun saya masih ragu, Romo."
"Pernikahan adalah jalan yang panjang. Tugas suami bukan hanya memberi kecukupan secara finansial. Kamu wajib untuk mengasihi istrimu serta memberikan pengetahuan untuknya. Kalau kamu ragu, ambillah waktu sampai hatimu yakin." Romo diam, lalu melanjutkan lagi ucapannya, "Selain itu, perkawinan Katolik tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian."
Tapi bagaimana jika aku tidak tahan lagi, pikir Nathan. Aku tidak bisa menjalankan kewajibanku sebagai suami yang memberi kasih apalagi pengetahuan pada istriku. Kami sudah berjalan di dua arah yang berbeda.
Semoga saja perceraianku dapat diampuni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua Bersama Alinda | Short Story
Romance"Apakah kamu dan dia berzina?" "Apa kamu ingin aku berbohong, Nathan?" Alinda menggenggam pergelangan tangan Nathan yang mencekiknya.