Chapter 6

106 77 11
                                    

Hallo semuanya, jangan lupa vote dan komen di chapter ini, ya! Untuk meninggalkan jejak.
Terima Kasih !!

Malam itu, terasa sangat sunyi dan dingin, hanya terdengar suara rintikan hujan yang bergemuru seperti mengetuk kaca di hadapan Alin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, terasa sangat sunyi dan dingin, hanya terdengar suara rintikan hujan yang bergemuru seperti mengetuk kaca di hadapan Alin. Gadis itu menatap jendela kamarnya yang sudah di basahi oleh hujan.

Saat pulang dari rumah sakit menjenguk Ibu dan Tante Mira, ia merasa hatinya masih terasa sesak, dengan pikiran yang semakin meloncat ke sana ke mari memikirkan semuanya. Alin menghela napasnya dalam-dalam, dunianya seakan-akan runtuh begitu saja saat mendengar ucapan Ibu tadi siang.


Alin mengambil ponselnya, sambil membuka pesan yang di beri oleh Reyhan. Sepertinya laki-laki itu tampak meminta maaf kepadanya.

Dengan pikiran yang terus berputar, Alin mulai merasa kepalanya sakit kembali. Tetapi, tidak begitu terasa sakit seperti sebelumnya.

"Shh.. sakit," keluh Alin sambil memegang kepalanya. Alin sempat menyadari satu hal, kepalanya akan terasa sakit bila terlalu overthingking.

"Aku engga tau siapa Tissa ... kenapa ibu bilang kayak gitu? Memangnya aku engga baik buat Rey?" umpat Alin.

Tiba-tiba saja, pikirannya tertuju kepada sang Ibu yang berkerja jauh di luar kota. Ia ingin bertemu dengan Ibu untuk menceritakan semuanya, dan merasakan kehangatan pelukannya. Tetapi sudah lama ia tak menerima kabar dari Ibu, Alin hanya bisa menunggunya hingga ia pulang kembali ke rumah.

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu kamar Alin tampak di ketuk dari luar. Alin membubarkan lamunannya, lalu memandang pintu kamarnya yang akan terbuka. Saat menunggu seseorang membuka, ternyata Anna yang memunculkan wajahnya, lalu gadis itu datang menghampiri Alin.

"Alin, besok ibu pulang," ujar Anna sambil menatap Alin. Mendengar hal itu, Alin langsung membuka matanya lebar. Entah mengapa jantungnya terasa sesak, layaknya sesuatu yamh baru saja menyirat hatinya, matanya pun terlihat berkaca-kaca saat itu juga.

"Ibu pulang?" tanya Alin tak percaya, Anna mengangguk saja dengan wajah datar khasnya. Seketika Alin langsung menjatuhkan air matanya, isak tangis itu terdengar seperti menyakitkan.

"Kenapa kamu nangis?" tanya Anna sambil mengerutkan alisnya menatap sang adik. Alin tidak menjawab apa-apa, gadis itu masih terus terisak tangisannya.

Ada rasa iba saat melihat adiknya menangis, Anna ingin sekali memeluk tubuh sang adik, tetapi ia masih memiliki rasa gengsi yang begitu tinggi. Semenjak Ayah mereka memilih untuk meninggalkan kedua kakak beradik itu, hubungan antar keduanya terlihat retak.

Melihat Alin yang semakin menjadi tangisannya, Anna memilih untuk beranjak dan meninggalkan adiknya sendirian di sana. Karena, ia tidak bisa menenangkan adiknya.

Seketika Anna langsung menutup pintu kamar adiknya, gadis itu berjalan menjauh lalu melangkah-kan kakinya menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhentikan saat berada di depan pintu kamar orang tua mereka.

Anna mulai membuka pintu kamar Ibu dan Ayah, lalu memasukinya. Terlihat barang-barang mereka masih tersimpan rapih, dan foto-foto mereka saat bersama masih terpajang jelas.

Anna menatap sala satu foto kedua orang tuanya yang sedang tersenyum girang. "Ibu, Ayah ... maafin Anna, ya."

📖📖📖

Alin sudah membuat beberapa tumpukkan tissu di atas meja belajarnya. Tissu itu bekas mengusap air matanya dan air yang keluar dari kedua lubang hidungnya saat menangis.

Seperti biasa, Alin mulai menyatat cerita hari ini di atas buku diary miliknya. Dengan mata yang begitu mengembang dan kecil, Alin berusaha untuk melihat jelas tulisannya.

Tok.. Tok.. Tok..

Seketika suara pintu kamar Alin di ketuk lagi. Alin sudah mengetahui siapa yang mengetuk pintu itu. Anna berjalan memasuki kamar adiknya, membawa sebuah amplop putih yang begitu tebal isinya.

"Alin.." panggil Anna sambil menatap adiknya yang sedang menulis. Alin hanya berdeham saja.

"Alin, ada uang untuk kamu," seru Anna sambil menyodorkan amplop itu. Seketika Alin langsung menatap kakaknya, lalu tatapannya turun ke amplop putih itu.

Alin langsung mengambil amplop itu. "Makasih, kak. Tapi ... kakak dapat uang ini dari mana?" Anna tidak menjawab apa pun saat itu, akhirnya Alin memegang amplop itu, terasa begitu tebal isi dalamnya.

"Pake uang itu untuk menghibur diri kamu sendiri, ya!" pinta Anna sambil berjalan meninggalkan adiknya lagi.

Seketika Alin langsung menatap amplop itu lalu ia membuka isinya. Saat di lihat, segompok uang berwarna merah berada di dalam amplop itu. Alin masih menatap uang itu, lalu memasukan kembali dan melemparnya sembarangan.

Seketika Alin langsung beranjak dari tempat meja belajarnya, lalu berjalan menuju kasur miliknya.

Saat itu juga, Alin menduduki dirinya di samping ranjang kasurnya sambil melamun menatap jendela kamarnya lagi.

Seketika kepala Alin terasa sakit kembali, seperti halnya sebuah benda tajam di arahkan menuju kepala, lalu menusuknya berulang kali hingga rasa sakit itu terus terasa begitu meningkat. Setiap dirinya berpikir keras, rasa sakit itu akan terus meningkat.

Rasa sakit kepala yang Alin rasakan malam itu, benar-benar mampu membuat dirinya mencengkram hebat rambutnya. Ternyata cengkraman itu tidak mengurangi rasa sakitnya.

Alin kembali meringis kesakitan, dengan mata yang sedikit mengeluarkan air akibat terus di pejamkan. Untuk mengurangi rasa sakitnya, Alin mulai merebahkan dirinya di atas kasurnya, gadis itu mulai membuka matanya perlahan, lalu menatap langit-langit kamarnya yang sudah berubah menjadi hitam, pandangannya terasa kabur, hingga akhirnya Alin hanya melihat kegelapan.

📖📖📖

LUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang