Chapter 10

75 58 14
                                    

Hallo semuanya! Jangan lupa Vote dan Komen, ya! Untuk meninggalkan Jejak.
Terima kasih!!

Sebuah map kertas hasil scane otak yang baru saja di analisis, tampak Alin bawa sambil berjalan meninggalkan ruangan saraf 3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah map kertas hasil scane otak yang baru saja di analisis, tampak Alin bawa sambil berjalan meninggalkan ruangan saraf 3. Alin masih terdiam saat itu juga, penyakit yang mengidapnya ternyata faktor benturan pada masa kecilnya, hingga menyebabkan dampak yang begitu besar di masa sekarang.

Alin masih berjalan menghampiri resepsionis di sana, untuk menerima obat dan adminitrasi. Alin memberikan kertas berupa informasi hasil penanganan tadi, untuk mempermudah mencari obat yang pantas Alin dapatkan.

Selang beberapa menit berlalu, gadis itu tampak di panggil untuk menerima obatnya.

"Obat untuk sekarang yaitu Memantine dan AntiDepres serta Vitamin yang harus di habiskan, jika sakit kepala itu terus terasa, segerakan untuk meminum Memantine. Jika terasa sedih, bahkan depresi, bisa meminum obat AntiDepres. Vitamine jangan lupa di habiskan," ujar resepsionis itu. Lalu Alin hanya mengangguk saja, sambil tersenyum sampul.

"Total semuanya senilai dua juta lima ratus rupiah, karena pertambahan Scane dan Neuropsikologis." Akhirnya Alin membuka tas miliknya, lalu ia mengeluarkan uang dari amplop putih itu, senilai yang sudah di beri tahukan. Lalu Alin mengadakan transaksi saat itu juga.

Akhirnya transaksi itu selesai, Alin berjalan keluar dari klinik saraf ini. Lalu gadis itu merapa ponselnya, untuk menceritakan ini semua kepada Reyhan.

Namun, saat ponsel itu menekan kontak bernama "Rawr" seperti biasa, nomor itu tampak tidak aktif. Alin langsung terdiam sejenak, membaca pemberitahuan bahwa nomor itu sedang tidak aktif, lalu ia memilih untuk meninggalkan satu pesan untuknya. Pesan itu bertulisakan bahwa Alin sedang berada di rumah sakit Rumadikta, tetapi pesan itu tidak kunjung di baca juga.

Akhirnya Alin berjalan kembali untuk menuju Purp lalu pulang. Tetapi, saat ia berjalan keluar, sebuah genggaman tangan menyita tangan Alin.

"Alin, lo ngapain di sini?" tanya Risha yang langsung menghampiri Alin. Ia langsung menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah sumber suara yang baru saja menanyakan keberadaanya.

"Em.. Sha.. Aku gak ngapa-ngapain, kok!" kilah Alin. Sial, map itu masih ia genggam.

"Kalo gak ngapa-ngapain, terus itu map apa?" Alin langsung menatap map itu, lalu mengalihakan tatapannya ke arah netra Risha.

"Aku habis cek," ungkapnya. Lalu Risha langsung menarik tangan Alin untuk duduk di kursi terdekat. "Jelasin, abis cek apa?" tanya Risha sambil menatap Alin dengan tatapan mendalam.

Alin langsung menelan salivanya, tatapan Risha tampak sangat serius, suasana sepi rumah sakit itu menambah ketegangan yang Alin rasakan, gadis itu sempat menghela napas dalam, sambil menjawab, "Aku habis cek penyakitku, ternyata ... aku positif Alzheimer."

Seketika Risha langsung mengerutkan dahinya, tatapannya tertuju kepada map yang di bawa gadis itu, lalu Risha mengambil paksa map itu, dengan cepat Risha membukanya. "Lo sakit kepala karna ini? Kenapa ngga pernah cerita sama gue? Lo anggap gue apaan sih, Lin? Harusnya lo cerita sama gue, bikin khawatir aja deh!" Risha tampak mengomel di hadapan Alin sambil melihat beberapa hasil scane otak milik sahabatnya.

"Tapi, aku juga baru tau, Sha, kalo aku kena penyakit itu..." Risha tampak menghela napas berat, gadis itu membereskan kembali hasil scan otak itu.

"Gue anterin pulang, ya?" ajak Risha sambil menatap Alin dengan tatapan sayup. Alin hanya bisa mengangguk saja, berharap Risha tidak terus mengomelinnya.

"Aku bawa motor, Sha." Alin langsung mengasihi kunci motornya, Risha tampak menerima kunci itu lalu ia memegang tangan Alin untuk berjalan bersama dengannya.

Namun, sebuah deringan terdengar di ponsel kedua gadis itu. Sontak Alin dan Risha sempat bertatapan, namun yang sigap mengambil ponselnya yaitu Risha. Teryata, Pika mengadakan panggilan grup di sana, karena Risha yang pertama melihat, ia juga yang mengangkatnya.

Panggilan itu pun berlangsung.

"Hallo, Sha. Gue mau pamitan nih, gue mau balik ke kosan. Besok ada kelas kuliah!"
"Oh oke.. hati-hati. Gue lagi sama Alin, nih."
"Gue mau ngomong sama Alin."

Seketika Risha langsung menatap Alin, lalu memberikan ponselnya kepada gadis itu.

"H-hallo, Pika?"
"Alin, gue pamit, ya! Gue ada kelas nih bentar lagi, jadi ... mau gak mau gue harus pergi ke kosan. Lo jaga diri baik-baik, ya! Kalo ada apa-apa cerita sama gue atau Risha. Oke?"
"Oke, Ka. Hati-hati."

Akhirnya Alin mengembalikan ponsel itu kepada Risha, lalu Risha tampak mematikan panggilan itu sepihak, tanpa memberi tahu Pika.

"Lin, lo bilang sama Kak Anna soal ini?" tanya Risha sambil menatap Alin. Alin hanya menggeleng saja, sambil tersenyum kicut. Tatapan Risha saat mengetahui semuanya, seperti tatapan khawatir.

"Mau gue bilangin?" tanya Risha kembali. Alin terus menggelengkan kepalanya, dengan perasaan yang sedikit terancam.

"Jangan, aku gak mau buat mereka khawatir," ungkap Alin. Akhirnya Risha mengangguk saja, ia kembali menyalakan Purp untuk mengantar Alin pulang.

Sepanjang perjalanan, hanya suara luar kendali yang mereka dengarkan, tidak ada komunikasi antara Risha dan Alin, tetapi Risha tampak mengendarai motor Alin dengan sangat berhati-hati. Hal itu sungguh membuat Alin merasa cukup aman, karena Risha baru saja bisa mengendarai motor beberapa bulan yang lalu.

Sesampainya di rumah, Risha langsung memasukan motor Alin ke dalam garasi rumahnya, hal itu sunggu menjadi kebiasaan yang sudah Risha ketahui sejak lama.

"Makasih, Sha. Aku bener-bener minta maaf sama kamu," ungkap Alin sambil menatap Risha yang masih sibuk membenarkan posisi motor milik Alin.

"Sama-sama sayangku. Inget! Kalo ada apa-apa bilang!" pinta Risha sambil menatap Alin. Gadis itu hanya mengangguk sambil tersenyum saja.

"Kamu mau masuk dulu? Kita main sebentar," ajak Alin dengan lengkungan senyuman manis di wajahnya. Tetapi, Risha malah menolak ajakan itu. "Gue langsung pulang aja. Di rumah, nyokap gue sendirian," tolak Risha. Alin hanya mengangguk aja sambil tersenyum kicut.

Akhirnya Risha berpamitan untuk pulang, karena Risha mempunyai langganan ojek dekat rumah Alin, gadis itu memanfaatkan ojek itu. Hanya ada Alin seorang diri di depan rumahnya, menatap kepergian Risha yang sudah menaiki ojek di sana.

"Hmm... Mending tidur aja deh!" Akhirnya Alin berjalan memasuki rumahnya, sambil melipat map hasil scan itu, agar tidak di ketahui oleh Ibu ataupun Anna.

Hening, hanya itu suasana yang terlihat saat Alin sudah berada di dalam rumahnya. Seperti biasa, gadis itu berjalan menaiki tangga lalu memasuki kamarnya dan menguncinya.

Tetapi, satu pikiran terlintas di benak gadis itu, saat ia tidak mendapat jawaban apa pun dari Reyhan. "Lagi ngapain, sih? Perasaan dari tadi gak jawab-jawab." Alin menekan kontaknya lagi, untuk memastika dan mendasari harapan. Nihil, tidak ada jawaban apa pun lagi.

📖📖📖

LUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang