Chapter 18

52 32 13
                                    

Hallo semuanya! Jangan lupa Vote dan Komen, ya! Untuk meninggalkan jejak.
Terima kasih!

Alin membuka matanya perlahan-lahan, mendapati sinar matahari yang menyorot masuk ke dalam kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alin membuka matanya perlahan-lahan, mendapati sinar matahari yang menyorot masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya terasa sakit, pundaknya terasa linu saat di gerakkan, kepalanya terasa pusing memutar saat tubuh Alin sudah berubah posisi menjadi duduk. Ternyata, sepanjang malam gadis itu tertidur di meja belajarnya.

"Aduh... Sakit banget," keluh Alin sambil memijat sedikit leher dan pundaknya, ia juga memijit kepalanya yang terasa sedang berputar.

Alin langsung menatap buku diary di hadapannya. Buku itu masih terbuka, mendapati tulisan Alin yang tidak di lanjutkan. Alin mulai membaca tulisan itu, membaca semua cerita yang sudah ia tumpahkan. Dengan raut wajah yang penuh tanda tanya, Alin mencoba untuk mengingat apa yang terjadi kemarin, tetapi semuanya sia-sia. Gadis itu tidak mengingat apa pun.

"Ini beneran? Kok jahat banget, sih!" ucap Alin sambil membaca semuanya.

Alin langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi Reyhan. Gadis itu siap menanyakan seribu pertanyaan yang sudah ia tampung kemarin.

Ternyata, panggilan itu tak kunjung di jawab. Bahkan, di beritahukan bahwa ponsel Reyhan sedang tidak aktif. Dengan perasaan yang terasa campur aduk kembali, Alin mencoba untuk menghubungi Risha, untuk menanyakan bagaimana keadaanya sekarang. Setelah membaca buku diary miliknya, Alin langsung mengingat bahwa tante Mira baru saja meninggal dunia.

Risha tak kunjung menjawab juga, dua orang yang sudah ia khawatirkan tidak merespon apa pun. Sungguh, hal itu membuat Alin semakin merasa cemas dan campur aduk.

Tetapi, Gadis itu mencoba untuk tetap menenangkan dirinya sendiri. Mencoba untuk menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Semua bakal baik-baik aja, tenang aja," batin Alin sambil terus melakukan pernapasan itu.

Tetapi, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Alin langsung menoleh dan melihat siapa yang menghubunginya. Ternyata, Dokter Cellue yang menyebabkan ponselnya berdering.

Alin langsung mengerutkan dahinya, gadis itu menatap lama panggilan itu, ia tak mengetahui siapa dokter Cellue, tetapi gadis itu mencoba mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Alinne. Selamat pagi, gimana kabar kamu hari ini?" Suara halus itu terdengar di balik ponsel miliknya.

Alin langsung menjawab, "H-hallo, aku sejujurnya lagi gak baik-baik aja. Maaf sebelumnya, kamu siapa, ya?"

"Saya dokter Cellue, dokter yang siap menangani kamu, Alinne. Sebelumnya, apa kamu sudah meminum obat yang saya berikan? Sepertinya belum, ya? Jangan lupa meminum obatnya, Alin. Jika kamu melupakannya, tolong minum sekarang juga, ya!"

Alin langsung mengerutkan dahinya, gadis itu mulai membuka lembaran sebelumnya yang berada di buku diary miliknya untuk mencari obat yang baru saja di bicarakan oleh wanita itu. Ternyata, dua obat penting harus ia minum untuk mengurangi penyakitnya. Alin langsung mencari obat itu di atas meja belajarnya, ternyata obat itu tidak ada. Lalu gadis itu beranjak dan mencari di setiap sudut ruangan kamarnya. Sama saja, tidak ada obat itu. Saat sudah merasa buntu, Alin kembali mengambil ponselnya, panggilan itu masih tersambung.

"Hallo? Dokter... Aku lupa obatku di mana"
"Benarkah? Apa kamu sudah mencarinya di dalam tas?"
"Belum, aku akan coba cari di tas."

Ketemu, obat itu berada di dalam tas miliknya. Alin langsung mengambil obat itu, dan meminumnya secara berjeda. Gadis itu mulai merasakan ketenangan, kecemasan dan perasaan yang bercampur aduk tadi perlahan-lahan menghilang, gadis itu sudah merasa jauh lebih baik.

"Hallo?" Alin mencoba memanggil dokter Cellue itu.
"Bagaimana, Alinne? Sudah tenang?"
"Sudah. Rasanya jauh lebih tenang. Tadi aku cemas... Aku juga merasa perasaanku bener-bener berantakan tadi. Tapi, setelah meminum obat itu, aku merasa tenang, dok."
"Syukurlah kalau begitu. Jangan lupa minum obatmu, ya!"
"Baik, terima kasih banyak."
"Alinne, mari kita adakan pengobatan lanjutan. Untuk mencari tahu dan memantau perkembanganmu. Karena, penyakit ini sungguh langka, yang mengidapnya gadis berusia 20 tahun seperti dirimu. Kamu pun bisa menceritakan semua yang kamu alami bersamaku."

Alin langsung terdiam, keputusannya terasa tegoyahkan, rasanya ingin sekali mengambil pengobatan lanjut. Tetapi, gadis itu kembali memikirkan biaya, ia tak mau merepotkan siapa pun.

📖📖📖

Gadis itu tampak sudah tampil rapih dan cantik. Ia akan pergi ke dokter klinik saraf untuk mengisi informasi pengobatan lanjut. Keputusannya sudah bulat, dokter Cellue berhasil mengajak Alin untuk melakukan pengobatan lanjut.

Saat gadis itu sudah berada di hadapan Purp, seseorang tampak menekan bell rumahnya.

Ding Dong..

Alin langsung menoleh ke arah gerbang rumahnya, lalu ia berjalan menuju gerbang itu, untuk membuka dan melihat seseorang yang menekannya. Ternyata Farhan sudah berdiri di sana, mambawa sekotak bungkusan berwarna hitam.

"Hai, Alin. Ini dari nyokap gue, jangan lupa di makan bareng sama kakak lo," ucap Farhan sambil menyodorkan kotak yang berisi makanan itu.

Alin langsung menerimanya, gadis itu sedikit mengingat wajah dan nama laki-laki di hadapannya. "Makasih, Farhan." Farhan hanya mengangguk sambil tersenyum saja.

Lalu, saat Alin hendak berjalan menjauh dari Farhan, laki-laki itu langsung menahan tangan Alin.

"Alin," panggilnya. Sontak, gadis itu langsung menatap Farhan dengan mata yang terbuka dan alis yang terangkat.

"Tolong ... jangan salah paham sama gue," lanjutnya. Alin masih tidak mengerti apa yang laki-laki itu ucapkan. Tetapi, gadis itu mulai mengingat sesuatu, sebuah cerita yang berada di dalam buku diary miliknya menceritakan seorang laki-laki yang di tuduh menjadi pelaku pembunuhan.

"Jadi kamu... Yang di tuduh pembunuhan itu, Farhan?" tanya Alin sambil menatap laki-laki di hadapannya. Farhan langsung menundukkan kepalanya, seraya melepaskan genggaman tangannya.

"Jangan salah paham, ya, gue enggak kaya gitu!" ujar Farhan. Alin hanya bisa mengangguk saja, karena ia juga merasa Farhan tidak akan pernah melakukan hal itu.

Lalu Alin tampak mengulas senyuman tipis, sambil menghadap ke arah Farhan. "Aku percaya, kok. Kamu gak mungkin kaya gitu." Ucapan itu mampu membuat Farhan bernapas lega, mimik wajahnya yang sedih berubah menjadi senyuman yang di ukir manis.

"Makasih, ya. Btw lo mau ke mana udah rapih gitu?" Alin langsung mengubah senyumannya menjadi simpul. Gadis itu menatap sekejap ke arah Purp yang sedang di panaskan, lalu menatap ke arah Farhan kembali. "Aku mau ke dokter," jawabnya.

Lalu Farhan langsung mengangkat kedua alisnya, bibirnya mengulas senyuman manis. "Jadi mau nerima pengobatan lanjut?"

Sontak, Alin langsung menatap Farhan. "Kok bisa tau?" Pertanyaan itu yang paling menjadi nomor satu di benaknya. Farhan langsung terkekeh, namun suara tawa itu terdengar hambar.

"Ternyata lo lupa lagi." Alin hanya diam saja, menatap Farhan yang sudah memundurkan langkahnya. "Kalo begitu semangat, ya! Gue pulang dulu," pamitnya. Lalu Farhan berjalan menjauh dari Alin, gadis itu terdiam sambil menatap punggung laki-laki di hadapannya.

Tetapi, Farhan langsung mengulas wajah murung. Laki-laki itu tampak merasakan kesedihan, saat gadis yang ia sukai melupakan momen bersamanya tempo hari.

📖📖📖

LUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang