✨ Hidup tidak akan pernah adil untuk siapapun, jadi berhentilah terpaku pada masalah yang ada. ✨
*
*"Gue pikir lo berantem sama cowok doang. Ternyata cewek juga," cibir Giovanni saat tengah mengobati luka gadis bar-bar di hadapannya.
"Awas aja lo, Ver. Gue bakal bales, lebih dari ini. Cewek sialan."
"Aw pelan-pelan, Van. Sakit," ringisnya, saat merasa perih diwajahnya karena, kejadian tidak menyenangkan di kelas Rivaldo tadi.
"Makanya kalo jadi cewek tuh, yah cewek aja. Gak usah bar-bar kaya cowok."
"Dia duluan."
"Dia duluan apaan. Kan lo yang lebih dulu gangguin doinya. Coba aja lo gak ngusik singa yang lagi tidur, pasti hidup lo aman-aman aja," balas Giovanni, yang menekankan luka Ravicca dengan sengaja.
"Vann!!"
"Udah gue bersihin lukanya. Jangan di pegang-pegang dulu, nanti kotor lagi."
Tidak membalas, Ravicca hanya menatap kesal ke sahabatnya yang tengah menyimpan kotak p3k, ke lemari dekat cermin di kamarnya.
"Terus gimana?" tanya Giovanni.
Merasa bingung dengan pertanyaan sahabatnya, lantas Ravicca hanya menatap Giovanni dengan satu alis yang terangkat.
"Lo ama Rivaldo. Udah ada kemajuan?"
Ravicca memutar kedua bola matanya. "Kemajuan apaan, sifatnya aja kaya batu gitu."
Ingin rasanya tertawa karena kebodohan sahabatnya. Sudah dari awal dia mengingatkan Ravicca agar tidak bermain-main dengan Rivaldo, tetapi garis ini memang sangat keras kepala.
"Udahlah nyerah aja, lo gak bakal dapetin dia mau gimanapun caranya. Menurut gue dia itu barang."
"Barang?" tanya Ravicca untuk memastikan pendengarannya yang tidak terganggu.
"Iya barang. Sejak kecil dia gak pernah ngeluarkan ekspresi, cuma bisa diem doang," jawab Giovanni yang di balas anggukan dengan cepat oleh Ravicca.
Dia setuju sama sahabatnya. Bagaimana tidak, Rivaldo itu cowok dingin yang jalanin hidupnya cuma sebatas belajar doang. Apalagi lelaki itu jelmaan batu atau sejenisnya? Ahh, sudahlah. Ravicca sedang tidak berniat membahas cowok aneh satu itu.
"Malam ini gue nginep di sini ya. Biasalah di rumah sepi. Yahh, ada mereka juga gak ada gunanya sih. Lebih baik sepi daripada berisik," ujar Ravicca saat mengingat kedua orang yang sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing.
Ravicca selalu merasa iri dengan orang-orang, yang mendapat kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Sedangkan dirinya? Jangankan kasih sayang, wajah orang tuanya saja, Ravicca tidak ingat dengan jelas.
Mengingat kedua orang tuanya, membuat gadis itu muak. Sejak kecil dia selalu hidup sendiri, mereka selalu melewatkan hari-hari bersama Ravicca. Bahkan di hari paling spesial cewek itu juga, harus di lewati tanpa ada keluarga kecilnya.
"Ngapain mikirin itu? Mending ntar malem kita clubbing, gue yang traktir deh," celetuk Giovanni, membuat Ravicca langsung menoleh ke arahnya, dengan wajah berbinar-binar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Solitude
Teen FictionMenceritakan tentang kisah percintaan antara Rivaldo dan Ravicca. Mereka berdua hidup di keluarga yang sangat jauh berbeda. Di mana Rivaldo hidup di keluarga yang berlimpah akan kasih sayang, berbanding terbalik dengan Ravicca. Gadis cantik itu tida...