Bab 24

111 21 0
                                        

Happy reading

*
*

Di saat semua orang sibuk mengikuti pelajaran, beda halnya dengan Ravicca. Gadis itu kini berada di atap sekolah, ditemani sebungkus rokok yang sudah dihisapnya beberapa batang.

Dia memikirkan hidupnya. Mau cemburu dengan keluarga orang lain? Hahh, itu tidak ada gunanya. Kalau pun dia cemburu, bukan berarti keluarganya akan berubah harmonis seperti kebanyakan orang.

"Gue pengen keluarga harmonis. Apa sesusah itu ya?"

Entah sudah ke berapa kali dia menghela nafas, tapi hal itu masih saja Ravicca lakukan. Dia bingung bagaimana caranya agar ayah dan ibunya bisa akur, dan menjalani kehidupan layaknya keluarga.

Sibuk berpikir, Ravicca tidak menyadari waktunya bolos di atap sekolah sudah cukup lama. Dibuktikan dari suara bell yang berbunyi.

"Cepet banget udah bell aja," celetuknya seorang diri.

Ravicca mengambil ponsel di saku roknya guna melihat jam berapa saat ini. "Lahh udah jam istirahat?"

Tapi keliatannya gadis itu terlalu malas untuk menggerakkan badan, apalagi harus turun ke bawah. Biarlah, tohh nanti juga ada pengganggu yang akan datang menemuinya.

"Perasaan gue ke sini tadi sebelum bell masuk, sekarang udah istirahat aja. Emang waktu gak terasa ya."

Ravicca mematikan rokok yang sudah mulai memendek, lalu menengadahkan wajahnya menatap hamparan awan yang seakan berjalan beriringan.

Baru saja merasa bahagia, wajah Ravicca tertekuk lagi saat mendengar ponselnya berbunyi. Gadis itu menebak kalau orang yang meneleponnya adalah wajan gepeng.

"Nih anak gak bisa lihat orang santai dikit apa ya? Gangguin mulu, heran gue."

Tanpa melihat nama si penelepon, Ravicca langsung menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya. "Apaan? Lo gangguin gue mulu ya, kaga bosen apa?"

"Maksud kamu apa? Saya baru telepon kamu sekarang."

Bukan. Ini bukan suara Rivaldo, melainkan ibunya. Buat apa dia menghubungi Ravicca lagi? Hanya sekedar basa-basi? Sayangnya Ravicca tidak butuh.

"Sorry. Kenapa telepon?" tanya Ravicca yang mengubah raut wajahnya menjadi datar.

"Nanti malam kamu pulang! Kita mau pergi ke rumah kakek."

Bukannya perhatian yang dia dapat. Melainkan bentakan seperti biasa. Ravicca berharap ibunya bertanya kenapa kemarin dia tidak pulang, dia menginap dimana, apakah keadaannya baik-baik saja atau tidak.

Tapi mungkin itu hanya sebatas khayalan. Karna faktanya wanita itu tidak pernah memikirkannya, dia hanya menggunakan Ravicca sebagai pencitraan di depan kakek neneknya saja.

"Iya." Setelah mengucapkan itu, Ravicca langsung menutup teleponnya.

Pikiran gadis berambut panjang melayang jauh. Ingin rasanya pergi dan tidak memikirkan apapun, bebas dari semua masalah yang menjadi beban pikiran. Tapi kewarasannya masih ada. Tidak mungkin dia pergi begitu saja, dan hidup menjadi gembel.

Love In Solitude  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang