Bab 27

76 16 0
                                    

Happy reading ✨

*
*

Saat melangkahkan kakinya masuk ke kelas, Giovanni sudah menyadari tatapan mengintimidasi dari bangku pojok paling belakang.

Siapa lagi kalau bukan Ravicca? Gadis itu menunggu sahabatnya sejak sejam yang lalu. Kenapa dia datang sangat lama? Apakah orang ini sengaja ke sekolah saat bell akan berbunyi beberapa menit lagi?

"Kemana aja lo?" tuding Ravicca bahkan sebelum Giovanni mendaratkan bokongnya di bangku.

Untung aja Rico udah siapin alasan tadi.

"Rico minta tolong buat bantuin dia bujuk Cilla."

Ravicca menaikkan sebelah alisnya. Cilla? Ada apa dengan anak itu? Tumben Rico peduli dengan sikap manja adiknya. Biasa juga lelaki berparas tampan ini bodo amat dan selalu cuek sama dua adiknya.

Tatapan intimidasi, lagi-lagi dilayangkan gadis berambut panjang itu ke cewek di sampingnya. Dia seakan tidak percaya dengan ucapan Giovanni.

"Rico kemarin bawa susu kedelai ke rumah. Karna dia gak suka dikasih ke Cillo, tapi Cilla gak dibolehin minum tuh susu. Jadilah dia ngambek, gak mau sekolah tadi. Lo tau sendiri Cilla alergi susu kedelai."

Sulit rasanya untuk percaya, walaupun Giovanni sudah menjelaskannya. Melihat sikap cuek Rico, apa mungkin dia rela jemput Giovanni pagi-pagi buta hanya untuk membujuk adiknya sekolah?

"Tumben dia peduli sama Cillo Cilla. Biasa juga bodo amat tuh anak. Selain HP, gak peduli apa-apa," ucap Ravicca mencoba berpikir rasional.

"Mungkin karna si kembar udah mau masuk masa ujian kalik, yakali bolos sekolah mulu. Kan mereka udah kelas 6 SD."

"Lagian Rico emang pedulian sih anaknya, cuma dia sengaja keliatan cuek doang. Kalo dia gak peduli, mana mungkin tuh cowok mau mastiin keadaan setiap anggotanya tetap aman," lanjut Giovanni.

Sekarang saja Ravicca tengah curiga dengan kedua orang ini, ditambah dengan ucapan Giovanni seolah-olah membela lelaki itu membuat dirinya semakin penasaran.

"Lo ada hubungan apa sama Rico?" tanya Ravicca, membuat Giovanni terdiam seketika.

"Lo suka sama Rico, ya?"

Melihat pergerakan Giovanni yang langsung diam, Ravicca makin semangat menjahili sahabatnya ini. Sekarang gantian, cukup selama ini dia dijahili. Kali ini, dia yang akan menjahili.

"Berisik lo."

Untungnya bell langsung berbunyi, jadi aksi Ravicca yang menggoda Giovanni harus tertunda. Gadis itu malah berpikir, apakah nanti sewaktu istirahat dia pergi ke kantin saja bersama Giovanni, agar waktunya menggoda cewek ini akan lebih banyak.

***

"Lo tau gak Al, Giovanni suka sama Rico," ucap Ravicca antusias.

Gadis itu dengan semangat empat lima, berceloteh hal-hal yang menurut Rivaldo tidak penting. Seperti sekarang ini, sudah bisa ditebak respon lelaki itu bagaimana. Hanya diam dan kelihatan tidak tertarik sama sekali.

Niat awalnya sih ingin menemani Giovanni ke kantin, tapi gadis itu meninggalkannya begitu saja. Mungkin karena malu atau apa, alhasil Ravicca milih pergi ke atap seperti biasa, dan menunggu kurir datang membawa makanan mereka.

"Tadi pagi pas lo jemput gue ke rumah Giovanni, lo lihat kan ada cowok yang bawa motor?" tanya Ravicca dengan wajah semangat.

Gadis itu sangat senang mengetahui fakta, kalau sahabatnya menyukai laki-laki yang baik. Yahh, Rico termasuk cowok yang baik menurut Ravicca. Terkadang otaknya suka lari sih, tapi itu masih lebih baik daripada cowok hidung belang di luar sana, bukan?

"Nah itu Rico, salah satu temen gue di tempat yang waktu itu lo datengin."

Walaupun tidak mendapat jawaban apa-apa, Ravicca tetap cerita dengan tembok berjalan ini. Hatinya tengah gembira sekarang, dia tidak peduli dengan sikap dingin Rivaldo. Tohh, biasa juga dia seperti itu. Jadi Ravicca sudah kebal dengan sikap cueknya.

"Kalo dipikir-pikir, udah berapa lama ya Vanni suka sama Rico? Apa tuh cowok juga suka sama sahabat gue? Kalo sampe dia cuma mau main-main doang sama vanni, awas aja dia. Bakal kena sama gue."

Ravicca berbicara sambil makan. Entah pada siapa gadis itu ngobrol, karena Rivaldo kelihatan asik dengan makannya tanpa melihat atau bahkan mendengar perkataan Ravicca. Mereka berdua hanya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Ehh iya. Al, ntar pulang sekolah lo anterin gue ke mall aja ya?" Rivaldo hanya melirik Ravicca dari ekor matanya dengan alis yang dinaikkan.

"Gue ada janji sama Vanni buat nemenin dia belanja. Daripada ribet pulang terus balik lagi, yaudah sekalian aja gue ke mall nya langsung. Lagian Vanni katanya pulang sekolah, langsung dianter sama Rico ke sono."

Seakan tahu maksud dari lirikan si cowok dingin, lantas Ravicca langsung menjawab tanpa perlu di tanyakan dulu. Lama-lama bersama Rivaldo, Ravicca sudah hapal dengan pemikiran cowok itu dilihat dari gerak-geriknya aja.

"Berdua?"

"Iyalah, dikata mau tawuran rame-rame."

"Gue temenin."

Seketika Ravicca tersedak dengan makanannya sendiri. Apa katanya tadi? Di temenin? Dia pikir Ravicca anak TK yang harus ditemenin saat belanja? Lagian dia tidak sendiri, dia pergi  bareng Giovanni.

"Enggak! Apaan, lo ngapain ikut-ikutan?"

"Jagain lo."

Ravicca semakin kesal di buatnya. Apa-apaan cowok ini, menjaganya? Menjaganya dari apaan? Orang-orangan sawah? Dikata Ravicca mau perang apa ya?

"Ehh bocah, lo kata jagain gue dari apaan? Gue cuma belanja, itupun sama Vanni. Mau taruh dimana muka gue kalo belanja aja di temenin, enak ntar dia ejekin gue."

Tidak membalas, Rivaldo lebih memilih diam. Dia cape berdebat dengan Ravicca, tidak bakal ada ujungnya.

***

Niatnya ingin mengawasi dia gadis itu dari jauh, karena Ravicca sangat keras kapala tidak ingin Rivaldo menemani mereka, tapi tidak jadi. Tidak tahu  bagaimana, tempat persembunyiannya selalu ketahuan oleh Ravicca.

Alhasil, cowok berwajah dingin itu pulang ke rumah dan ingin melanjutkan pelajarannya saja.

"Sudah mulai berani kamu sekarang, Al?"

Rivaldo berhenti karena mendengar suara berat ayahnya. Lelaki itu tahu kalau dia akan dimarahi habis-habisan oleh Baron.

Rivaldo berbalik dan menatap wajah dingin ayahnya. "Maaf, Pa."

"Kamu tahu kesalahanmu dimana?" Rivaldo hanya menganggukkan kepalanya. Tohh, dia memang salah dan dia tidak akan mengelak.

"Apakah saya perlu turun tangan?"

"Tidak, Pa. Saya bisa mengatasinya sendiri."

Baron berjalan mendekati anaknya lalu menepuk pundak Rivaldo. "Jangan kecewakan saya, Al." Lalu melenggang pergi. 

Rivaldo menghela nafasnya dan naik ke lantai dua, letak kamarnya berada. Ingin rasanya tidur di kasur dan merenggangkan badannya. Rivaldo ingin melupakan sejenak masalah yang membebani pikirannya saat ini.

*
*

Ada yang nungguin gak? Maaf ya baru up, soalnya kemarin libur, hehe.

Maaf kalau banyak typo bertebaran. Aku terima kritik dan saran dari kalian.

Tunggu update-an selanjutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Terimakasih. 😇💕

~ Jessie ~

Love In Solitude  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang