Bab 8

19 4 2
                                    

Hyei memutuskan untuk duduk sendiri di ruang tunggu karena tak diijinkan untuk menjaha Hoseok di ruang ICU. Dia termenung dengan kepala menunduk menatap ujung sepatunya. Sesekali helaan napas terdengar, lalu jemarinya menyapu air mata yang masih saja menetes membasahi pipi.

Seorang pria yang hendak masuk ke ruang ICU melihatnya. Dia berhenti, lalu mendekati gadis itu.

"Sudah lama di sini?"

Hyei mengangkat wajah, lalu mengangguk pelan. "Kapan Hoseok akan sadar?" lirihnya dan kembali menunduk.

"Aku juga tak tau," jawab Yoongi, lalu duduk di sebelah gadis itu. Mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Yoongi menyandarkan punggungnya, matanya menatap langit-langit, sedang Hyei masih menunduk kembali menatap ujung sepatunya.

"Apa kau sudah dengar apa yang akan dilakukan pada Hoseok?" Pertanyaan Yoongi hanya dibalas anggukan lemah oleh Hyei. Yoongi menghela napas. "Kau harus bersiap menerimanya. Lagipula, semua akan terbiasa nantinya."

Hyei kembali menoleh pada Yoongi yang kini terdiam. "Apa ... apa kalian sudah terbiasa untuk melupakannya?"

Yoongi menoleh dan mata keduanya bersitatap untuk sejenak. "Pada akhirnya semua orang juga akan mati dan sekarang kami sudah terbiasa melakukan koreo tanpa Hoseok," jawab Yoongi lalu berdiri dan melangkah menjauh. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Dia harus pergi karena tak ingin Hyei tau tentang air matanya. Pria berkulit pucat itu pun masuk ke ruang ICU. Dia menatap Hoseok dengan perasaan yang hancur tak dapat digambarkan. Bagaimana bisa dia membayangkan hidupnya tanpa pria itu. Baginya Hoseok lebih dari sekedar sahabat ataupun sodara, tapi seperti jiwa yang mampu mengembalikan energinya ketika dia lelah. Hoseok di masa lalu mungkin bagian dari jiwanya sendiri.

Hyei bangkit dari tempat duduknya dengan perasaan hancur. Sungguh ingin rasanya menghentikan keputusan keluarga Hoseok, tapi mungkin itulah jalan terbaik. Hoseok sudah terlalu lama menderita.

Gadis itu menatap Yoongi dari jendela. Yoongi yang mematung memandangi Hoseok yang masih terlelap. Hyei menghela napas, lalu bergerak menjauh. Dia melintasi koridor, berjalan dengan lemah. Langkahnya sejenak tersendat ketika mendengar percakapan dokter dan kedua orang tua Hoseok.

"Jangan hari ini!" teriak Hyei tiba-tiba. "Satu minggu lagi, berikan aku waktu setidaknya seminggu. Aku ingin menjaganya. Walau hanya seminggu, aku ingin ada di sisinya."

"Nak ...." Sung Shik, ibu Hoseok mendekati Hyei. "Apa kau?" Wanita itu hanya menggantung kata-katanya.

Hyei membungkuk. "Maafkan aku, aku mencintai putramu. Tolong untuk yang terakhir, ijinkan aku merawatnya."

Sung Shik menoleh ke arah suaminya. Hoseok tak pernah bercerita tentang Hyei, tapi sang kakak pernah mengatakannya. Menceritakan tentang cinta Hoseok pada gadis biasa yang pernah memunculkan sebuah skandal dan Sung Shik yakin kalau gadis yang ada di hadapannya saat ini adalah dia.

"Nak ... bukankah lebih baik kau lepaskan dia sekarang? Melepasnya nanti hanya akan menambah beban hatimu." Ibu Hoseok mencoba memberi pengertian, tapi Hyei menggeleng.

"Aku hanya ingin menemaninya di detik-detik terakhir hidupnya," ucap gadis itu berusaha tegar dan tenang.

Kedua orang tua Hyei tak bisa berkata-kata lagi. Dengan terpaksa mereka meminta dokter untuk membiarkan Hoseok dan melanjutkan perawatannya.

Di tempat lain, tak jauh dari mereka berada Taehyung berdiri dalam diam memperhatikan interaksi keduanya. Dia menghela napas, lalu berbalik arah dan pergi.

"Eh, mau ke mana?" Jimin yang datang sembari membawa sekantong makanan menatap Taehyung yang berbalik arah dengan ekspresi yang dingin.

"Kita pulang saja," ucap Taehyung.

"Tapi ...." Jimin hendak mencari tahu apa yang membuat Taehyung tiba-tiba mengurungkan niat untuk membesuk Hoseok, tapi langkah Taehyung yang kian jauh membuatnya memutuskan untuk berlari mecari pria itu.

"Kau kenapa?" tanya Jimin saat keduanya sudah ada di dalam mobil.

"Untuk sementara sebaiknya kita tak mengunjungi Hoseok Hyung, biarkan dia istirahat dengan tenang ...," ucap Taehyung. Sorot matanya menatap kosong ke arah jalan raya.

Jimin mencoba menyelami isi hati sahabatnya. Dia mengerti jika semua orang belum siap kalau harus kehilangan Hoseok, tapi keputusan sudah final, semua ingin mengakhiri penderitaan pria itu.

"Hyei ... biarkan Hyei menemani Hoseok Hyung. Itu akan membuat Hoseok Hyung bahagia," ucap Taehyung bersama dengan setetes air mata yang jatuh membasahi pipi.

Suasana mobil itu pun seketika hening. Supir pribadi mereka pun melajukan kendaraan dalam diam. Semua orang terjebak dalam pikiran masing-masing.

***

Yoongi telah pergi meninggalkan Hoseok yang masih terbaring sendirian. Hyei yang sejak tadi berdiri di balik jendela, pun memutuskan untuk masuk ke ruangan. Ditatapnya Hoseok dengan perasaan yang campur aduk. Dia hendak merapikan rambut pria itu ketika matanya menangkap gerakan kecil pada jemari tangan Hoseok.

"Appa! Appa?! Kau sudah sadar?! Apla?!" Gadis itu langsung membungkukkan badan dan menggenggam jemari tangan kanan pria itu. "Gerakan lagi jarimu, Appa. Kumohon ...."

Hoseok kembali terdiam. Hyei menangis, menggengam jemari tangan Hoseok penuh harap.

"Appa, aku tau kau sudah sadar, aku bisa melihatnya tadi. Appa ayolah gerakkan lagi tanganmu ...."

"Nona, bisakah Anda jangan terlalu berisik di sini?" Seorang suster jaga mendekat dan menyentuh bahu Hyei.

"Tapi ... Appa dia ... barusan dia sudah sadar dia menggerakkan jemarinya
... dia ...."

"Saya paham, Nona. Mari saya periksa, Nona bisa tunggu di ...." Ucapan suster itu terputus saat dilihatnya jemari tangan Hoseok bergerak-gerak.

"Appa ... kau sudah sadar ...." Hyei terisak. "Kau sudah sadar ...." Dia ingin memeluk Hoseok, tapi suster mencegahnya.

"Nona Hyei, silakan Anda tunggu di luar dulu, kami akan memeriksa keadaan pasien.

Dengan perasaan berat hati Hyei melepaskan genggaman tangannya. Dia melangkah keluar, lalu seorang dokter bersama dua perawat lain masuk ke ruangan dan bersama-sama mendekati ranjang Hoseok. Hyei menatap dari balik jendela, melihat bagaimana dokter memeriksa pasien dengan sangat cekatan.

Hyei menyeka air matanya. Ada rasa bahagia yang membuncah ketika melihat dokter mulai mematikan EKG dan melepas beberapa alat bantu. Hoseok sudah membuka matanya. Meski masih tampak lemah, tapi pria itu mulai merespons setiap ucapan sang dokter.

Ayah dan ibu Hoseok masuk ke ruangan, perawat telah menghubungi mereka dan mengabarkan kondisi Hoseok yang sudah membaik. Melihat kedua orang Hoseok sudah diijinkan masuk ke ruangan, Hyei pun mengayun langkah hendak masuk ke sana. Akan tetapi, sampai di depan pintu, Hyei menghentikan langkah kakinya. Dia mengusap air matanya, bibirnya tersenyum, tapi kakinya melangkah mundur.

"Terima kasih sudah kembali, Appa. Semoga kau lekas sembuh dan segera berdiri di panggung bersama sahabat-sahabatmu," ucap Hyei, lebih tepatnya bermonolog dengan dirinya sendiri, lalu membalik badan dan pergi dari sana. "Tugasku sudah selesai, Appa ... aku ijin pulang."

Hyei pun masuk ke lift yang langsung membawanya turun ke lantai dasar. Dia bahagia karena Hoseok telah kembali, tapi juga sedih karena dia harus meninggalkan pria itu. Sesaat yang lalu dia teringat ucapan Sejin, bahwa Hoseok telah mengorbankan kebahagiaannya untuk melindunginya, lalu jika sekarang dia kembali berdiri di sisi Hoseok, apakah Hoseok harus kembali berkorban untuknya? Hyei tak ingin Hoseok kembali berkorban hanya untuk melindungi dirinya.

Pick Me, BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang