🏮#6: Keraguan🏮

16 4 1
                                    

"Apa yang mau El diskusikan?" tanya Haris memecah keheningan ketika mereka memulai sesi diskusi mereka seusai menunaikan salat Dzuhur.

"Banyak hal, Mas."

"Silakan."

Dengan disaksikan oleh abi, umi, dan Mas Farel, Elnara memberanikan dirinya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terus menari dalam benaknya sejak kemarin.

"Apa yang Mas Haris pahami tentang pernikahan?" Elnara memulai pertanyaannya.

"Sebuah ibadah yang akan kita lakukan sepanjang hidup. Setiap yang kita lakukan bersama dan tidak menyimpang dari apa yang diperintahkan-Nya, maka semua bernilai ibadah," jawab Haris mantap.

Elnara mengulum senyumnya. Jawaban Haris sesuai dengan ekspektasinya. Mereka sepaham soal ini. Abi dan umi yang sudah merasakan asam garam pernikahan selama puluhan tahun pun turut mengangguk-angguk setuju.

"Menurut Mas Haris, apakah penyesuaian dalam pernikahan itu perlu?" tanya Elnara lagi.

"Tentu. Pernikahan kan untuk menyatukan dua manusia, dua kepala, dua hati, dua impian, dan dua keluarga. Tentu butuh banyak penyesuaian."

Hati Elnara terasa begitu lega karena jawaban Haris sama seperti yang ada di pikirannya.

"Menurut El sendiri, gimana? Apakah penyesuaian itu perlu?" Kini Haris balas bertanya.

"Iya. Apalagi untuk El yang seorang perempuan. Terutama soal apakah Mas Haris kelak akan mengizinkan El untuk bekerja atau tidak."

Kali ini jeda cukup lama. Haris tidak segera menjawab.

"Soal bekerja, untuk seorang perempuan hukumnya diperbolehkan. Selagi diniatkan untuk berkarya dan menebar manfaat atau mengamalkan ilmu yang didapat. Bukan diniatkan untuk membantu suami mencari nafkah. Soal nafkah, El tidak perlu khawatir. Gaji saya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kita dan anak-anak kita kelak."

"Apakah itu artinya Mas Haris akan melarang El bekerja?" tanya Elnara dengan jantung yang mulai berdebar kencang. Ini pertanyaan yang krusial dan Elnara begitu takut mendengar jawaban Haris jika tak sesuai dengan apa yang ada di benaknya.

"Tidak melarang, El. Tetapi, kita lihat keutamaannya. Seorang istri lebih utama berada di rumah suaminya. Menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya. Mengurus semua keperluan suaminya. Bukan bekerja banting tulang di luar rumah. Menurut saya, akan lebih utama jika El fokus soal pendidikan anak kelak. Tidak perlu pusing memikirkan soal kebutuhan hidup karena saya yang berkewajiban memenuhi semuanya."

Hampir semua wanita bisa dipastikan akan senang mendapat jawaban seperti itu. Siapa yang tidak senang jika ada seorang pria yang berjanji untuk bertanggungjawab penuh terhadap nafkah dan kebutuhan keluarga. Istri tidak perlu susah payah bekerja.

Tidak dipungkiri, itu juga yang Elnara idam-idamkan dulu ketika memutuskan Harislah sosok idaman yang ingin ia jadikan sebagai pendamping hidup. Namun, entah kenapa ada sisi lain dari diri Elnara yang memberontak.

Jika pada akhirnya ia harus berakhir di rumah suaminya, lalu dengan apa ia membuat bangga kedua orang tua yang sudah mengusahakan pendidikan terbaik baginya? Bukankah mereka sudah susah payah mendidik dirinya hingga menjadi seperti sekarang? Mengeluarkan banyak biaya, tenaga, dan pikiran agar Elnara bisa mengenyam pendidikan yang tinggi.

Elnara tahu abi dan umi tidak mengharapkan imbalan dari semua yang mereka lakukan untuknya. Namun setidaknya, sekali saja Elnara ingin memberikan uang hasil jerih payahnya sendiri kepada orang tuanya agar mereka merasa bangga. Melihat anaknya pergi bekerja pagi-pagi sekali, lalu pulang di sore hari dengan membawa banyak cerita.

"Sebagai informasi, El sudah diterima bekerja, Mas. Mulai Senin besok El akan mulai bekerja. Kantornya ada di Bandung. Sebuah perusahaan radio. El akan bekerja di lapangan sebagai staff event. Ada kemungkinan besar sering pergi ke luar kota."

Ia bisa merasakan tatapan semua orang terfokus kepadanya. Elnara memang belum bercerita pada keluarganya kalau ia sudah diterima bekerja. Kemarin umi memang sempat bertanya bagaimana hasil wawancara, tetapi El hanya menjawab seperti biasa. Masih dalam tahap konfirmasi.

"Kamu bilang kemarin belum ada keputusan, El?" tanya umi terkejut.

"Maaf, Umi. El cuma mau kasih kejutan soal berita gembira ini." Elnara menatap sang umi dengan rasa bersalah.

"Alhamdulillah kalau El sudah diterima bekerja." Haris angkat bicara.

"Kalau El kerja di Bandung, Haris kerja di Jakarta, kalian jadi LDR-an, nanti?" celetuk Farel yang membuat semua orang terdiam.

"Itu dia inti dari yang ingin El sampaikan. Bagaimana jika kita harus LDR, Mas? Dengan posisi saya akan sering di lapangan juga. Biasanya event-event radio dilaksanakannya juga akhir pekan. Itu harus jadi salah satu pertimbangan Mas Haris ketika menerima El." Elnara berkata lirih. Ia sudah pasrahkan semuanya kepada Allah, apa pun keputusan pria yang duduk di hadapannya itu.

"Apakah ada kemungkinan El keluar dari pekerjaan itu?" tanya Haris ragu.

"El baru diterima, Mas." Elnara menegaskan kembali.

Perlahan rasa kecewa itu mulai menyelimuti hati Elnara. Jika sampai terlontar pertanyaan seperti itu, bukankah itu artinya Haris memang keberatan dengan kondisi dirinya yang akan bekerja. Haris lebih suka istrinya kelak mengurus rumah dan anak.

Keraguan juga mulai menyusup masuk. Membuat lidah Elnara terasa kelu untuk melontarkan pertanyaan yang lain.

"Untuk sementara ini mungkin tidak apa-apa. Sebagai pengalaman El agar tahu dunia kerja itu seperti apa. Tetapi, kalau nanti El sudah mengandung dan punya anak, saya berharap El mau berhenti bekerja dan fokus pada kesehatan El saja. Tidak boleh terlalu lelah." Haris kembali buka suara.

Hal itu disetujui oleh abi dan umi yang langsung mengangguk-anggukkan kepala.

"Haris benar, El. Kodrat perempuan itu adalah hamil, melahirkan, dan menyusui. Jika kondisi kamu nanti seperti itu, maka bekerja bukan lagi prioritas untuk kamu." Umi menimpali.

"Abi juga tidak keberatan kalau El mau berkarya di rumah. Abi sama umi menyekolahkan El sampai pendidikan tinggi, enggak mengharuskan El untuk jadi wanita karir. Jadi wanita soleha untuk suami dan keluarga juga bisa buat bangga abi sama umi." Abi ikut angkat bicara untuk membesarkan hati Elnara.

Mendengar penuturan itu semua, hati Elnara tidak menjadi lebih mantap. Justru timbul rasa bersalah lalu berpikir apa sekarang belum saatnya Elnara menerima ajakan Haris untuk menikah? Mungkin semuanya terlalu cepat. Elnara belum sempat membahagian abi dan umi, tetapi sudah harus berbakti kepada laki-laki lain yang akan menjadi suaminya.

Walaupun abi berusaha membesarkan hati Elnara, tetapi gadis itu yakin ada rasa kecewa yang abi rasakan.

"Soal tempat tinggal, bagaimana Mas? El juga perlu tahu rencana kita akan menetap di mana." Elnara beralih ke pertanyaan lain.

"Jika kamu bersikeras ingin tetap bekerja, maka konsekuensinya adalah kita tinggal terpisah. Sambil nanti kita lihat ke depannya seperti apa. Yang jelas, saya tidak mungkin tinggal menetap di luar kota. Kasihan umi yang sendirian, nanti tidak ada yang mengurus."

Satu hal lagi yang membuat Elnara menjadi ragu. Haris masih punya ibu yang menjadi tanggungan. Ayahnya sudah lama meninggal dunia dan sepengetahuan Elnara, Haris begitu sayang kepada sang ibu. Jikalau dulu Haris masih bisa sekolah dan kuliah di Bandung, tidak dengan kehidupan setelahnya. Usai lulus, Haris sudah bertekad akan mengabdi kepada sang ibu.

Bukan hanya masalah Elnara harus tinggal bersama mertua yang membuatnya menjadi ragu, tetapi ruang gerak mereka seperti tidak bebas karena tidak bisa pergi jauh. Sementara ia juga masih memiliki umi untuk dijaga dan ditemani karena abi masih sering tugas keluar kota melakukan penelitian dan mengisi seminar-seminar.

Awalnya Elnara merasa optimis proses ini masih bisa dilanjutkan, tetapi semakin ke sini hatinya semakin terasa berat.

"Kamu kan masih punya Mas loh, El. Kamu lupa Mas juga tinggal di Jakarta?" celetuk Farel.

"Nanti El pikirkan dulu, ya, Mas." Elnara menutup diskusi itu dengan diksi pamungkas. Meminta waktu untuk mengambil keputusan.

🏮🌟🏮


InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang