🏮#30: Ayyash Altezza🏮

17 3 1
                                    

Ayyash Altezza. Nama itu terus terngiang-ngiang dalam ingatan Elnara. Siapa sosok itu sebenarnya? Bekerja di bagian apa ia?

Sepanjang sisa hari itu Elnara tidak fokus bekerja. Otaknya sibuk bertanya-tanya tentang sosok pemilik biodata yang sedang dipegangnya. Juga sibuk mencari cara bagaimana ia mencari tahu tanpa dicurigai ada apa-apa.

Maka seusai rapat evaluasi sore itu, bersamaan dengan mengisi absensi kepulangan, Elnara mengorek informasi dari Mbak Uci. Selama ini kan beliau yang mengurus data absensi karyawan. Ia tahu banyak tentang nama-nama karyawan di radio sehingga Elnara memutuskan hendak bertanya.

"Mbak, aku boleh tanya sesuatu enggak?" tanya Elnara seraya celingukan ke sana kemari untuk memastikan tidak ada orang di sekitar sana dan mendengarkan percakapan mereka.

"Apa?" tanya Mbak Uci penasaran.

"Mbak Uci tau enggak, kalau di radio ini ada staff yang namanya Ayyash Altezza?" tanya Elnara dengan suara yang ia rendahkan sekecil mungkin, tetapi tetap bisa didengar oleh lawan bicaranya.

Setelah mendengar nama itu, Mbak Uci ikut celingukan ke sana kemari. Setelah memastikan kondisi aman, ia pun menjawab dengan sedikit berbisik.

"Itu salah satu anak dari pemilik Salim Media Group. Induk perusahaan radio kita."

Mata Elnara terbeliak kaget. Sementara mulutnya menganga tanpa sadar.

"Serius, Mbak?"

"Lah, kamu ke mana aja? Bisa enggak tahu anak bos tempat kerja sendiri."

Tubuh Elnara rasanya limbung. Kakinya lemas hingga ia pun terduduk di kursi resepsionis. Setelah kesadarannya kembali, ia pun menepuk pipi sendiri. Coba mengetes apakah ia sedang bermimpi. Ternyata rasanya sakit. Berarti semua itu nyata.

"Makasih, Mbak, atas informasinya." Elnara pamit pergi. Tak ingin lagi mencari tahu lebih banyak. Padahal Uci sudah antusias ingin membahas lebih lanjut.

Bagi Elnara, kenyataan yang baru didapatnya saja sudah membuatnya seperti kehilangan oksigen. Apalagi jika ia mengetahui lebih banyak lagi. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Ia bahkan tidak berani membuka amplop itu lagi.

Bahkan ketika Elnara sudah tiba di rumah pun, amplop itu ia letakkan begitu saja di atas meja belajarnya. Tak ada niatan sedikitpun untuk mencari tahu lebih banyak.

Usai menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk tanpa berganti pakaian, Elnara meraih ponselnya yang sejak tadi bergetar. Ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk.

Yang Harus Dihindari
El, kamu serius lagi ta'aruf lagi?
Kenapa kamu nolak saya, tapi mau ta'aruf dengan yang lain?
Paling tidak, kasih saya kesempatan dulu.
El, kok pesan saya enggak dibalas?

Elnara menghela napasnya. Kepalanya semakin cenat cenut. Ia tahu Al tidak akan menyerah. Namun, ia tetap harus tegas.

El.Nara
Cukup Mas Al, jangan ganggu saya lagi.

Yang Harus Dihindari
Akhirnya dibalas.
Kamu baru sampai rumah, ya?
Kenapa kamu enggak mau menerima saya? Kasih saya alasan.

El.Nara
Masih tanya?

Yang Harus Dihindari
Apa? Saya enggak ngerti.
Kamu tolak saya gitu aja tanpa alasan. Kalau alasannya kamu masih trauma dengan yang sebelumnya, saya masih bisa paham.
Tapi, kamu justru berproses dengan yang lain.
Itu yang saya enggak paham.

El.Nara
Sudah, Mas. Jangan ganggu El lagi.

Yang Harus Dihindari
Paling tidak kasih saya satu alasan kenapa saya harus mundur.

InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang