Sejak terakhir kali Elnara mengirim pesan kepada Al, pria itu tidak lagi membalas pesannya. Elnara pun tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan Al yang sudah ditolaknya itu. Walaupun sebenarnya ada sedikit rasa sesal, tetapi coba ia tepis jauh-jauh semuanya.
Ia hanya ingin fokus bekerja dan melakukan hal terbaik dalam menjalani hari-harinya. Ia tersadar jika memang belum siap untuk ke jenjang serius itu.
Sesekali Elnara mendengarkan siarannya Al. Seringnya tidak. Begitu banyak agenda di luar studio akhir-akhir ini sehingga Elnara tidak punya banyak waktu untuk bersantai.
Kabar soal Haris pun tak pernah ia dengar lagi dari Farel. Jika pulang ke rumah di akhir pekan, kakaknya itu lebih banyak mengobrol soal rencana Elnara di masa depan. Juga mendengarkan cerita-cerita seru Elnara selama bekerja di radio.
Hingga sore itu, sebelum Farel kembali ke Jakarta, sang kakak mengatakan sebuah informasi yang membuatnya terkejut.
"El, Haris lagi proses sama perempuan lain."
Elnara terdiam sejenak. Seolah sedang mencerna kalimat itu. Mau tidak mau ia harus siap mendengar berita itu, kan? Lagipula, Elnara tidak punya hak untuk kecewa. Itu konsekuensi dari pilihannya.
"Alhamdulillah, kalau gitu, Mas. Kabari, ya, kalau sudah ada kabar gembiranya. El enggak keberatan untuk datang memberi doa kalau diundang."
Elnara berusaha untuk tersenyum dengan tulus, walaupun sebenarnya masih ada rasa sedikit kecewa. Padahal rasanya baru kemarin mereka berproses dan baru kemarin juga Haris selamat dari kecelakaan maut itu.
"Kamu enggak apa-apa, El?" tanya Farel seraya menatap sang adik dengan tatapan sendu.
"Insya Allah, El enggak apa-apa. Kenapa El harus sedih? Ini kan berita bagus. Mungkin dengan mendengar kabar ini, El bisa sedikit berdamai dengan diri sendiri."
Pembicaraan mereka pun berakhir, tetapi Elnara masih bisa melihat sorot kesedihan dari mata sang kakak. Entah kenapa.
Keesokan harinya, tiba-tiba Aisha mengirim pesan kepadanya. Meminta untuk bertemu di kafetaria yayasan ketika jam istirahat selepas salat Dzuhur. Katanya ada hal penting yang ingin perempuan itu bicarakan.
Elnara khawatir masalah penting itu tentang Al. Bukankah sudah jelas tempo hari dirinya menolak. Jadi, Elnara biarkan saja pesan itu. Tak dibalasnya sampai beberapa lama.
Saat Elnara hendak pulang usai menyelesaikan semua tugasnya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Dari Aisha.
Teh Aisha
Ini bukan tentang Al dan El. Tapi, tentang teteh sendiri.Elnara berpikir sejenak. Tidak mungkin Aisha berbohong agar Elnara mau menemuinya. Pasti benar-benar masalah penting. Akhirnya, Elnara pun membalas pesan itu dan mengatakan akan menunggu Aisha di masjid yayasan karena kafetaria sudah tutup di sore hari.
🏮🌟🏮
"Maaf, ya, Teh. Saya pikir Teteh masih mau membahas tentang Mas Al." Elnara merasa tidak enak karena sempat berburuk sangka.
"Sudah Teteh duga begitu. Kalau tentang Al, kami semua menghormati keputusan El. Jadi, enggak perlu khawatir." Aisha berkata seraya tersenyum.
"Terus, Teteh mau bicarakan hal penting apa?" tanya Elnara dengan tatapan antusias.
Aisha terdiam sejenak. Sesekali ia tersenyum malu. Sesekali menghela napas.
"Ada apa, Teh?" tanya Elnara tidak sabar.
"Waktu itu El kan pernah bilang kalau El pernah aktif di lembaga dakwah kampus tempat El kuliah. Teteh mau tanya, apa El kenal dengan yang namanya Haris Faturrahman? Beliau katanya aktif juga di lembaga dakwah kampus tempat El kuliah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...