"Fi, bisa-bisanya kamu enggak kasih tahu aku kalau mau dipindahin ke Bandung," protes Elnara ketika mereka sedang makan siang di kafetaria.
Lokasinya masih dalam kompleks Yayasan Assalam dan Radio HSG FM. Usut punya usut, ternyata dua badan itu masih berada dalam naungan Salim Media Group. Kabarnya untuk Yayasan dikelola oleh menantu pertama keluarga Salim, sementara Radio HSG dikelola oleh anak pertama keluarga itu.
"Aku kan kayak tahu bulat, digoreng dadakan, tapi tidak lima ratusan," jawab Fio asal kemudian menggigit potongan tahu sumedangnya dalam satu suapan.
"Tahu sumedang kali yang lagi kamu makan. Bukan tahu bulat," cibir Elnara seraya menyendok mi ayam pesanannya.
"Kejutan!" teriak Fio heboh.
"Apaan, sih, Fi." Elnara mendelik karena suara Fio terlalu besar. Sifat temannya yang satu itu memang tidak berubah sejak dulu.
Setelah mendelik, Elnara celingukan ke sana kemari mengamati sekitar khawatir orang-orang yang sedang makan di kafetaria merasa terganggu. Beberapa ada yang menoleh ke arah mereka, tetapi memutuskan untuk tidak terlalu peduli dan kembali dengan aktivitas makan mereka.
"Ya itu tadi jawabannya kenapa aku enggak kasih tahu kamu. Kejutan." Fio menegaskan. Kini ia mencaplok tahu Sumedang entah keberapanya.
"Kok bisa?"
"Kamu enggak seneng kita satu divisi lagi kayak waktu di kampus dulu?" Fio pasang wajah cemberut.
"Ya enggaklah, Fi. Justru aku seneng banget karena ada temennya. Kebayang kalau tadi enggak ada kamu, aku celingak celinguk sendirian di antara Mas Hasan sama Mbak Ivy."
Tepat ketika Elnara menghentikan kalimatnya, ia melihat presensi pria yang tadi pagi ada di ruang rapat berjalan menyusuri kafetaria. Ia mendekati penjual ayam geprek di sisi sebelah kanan tempat mereka duduk.
Fio yang menyadari Elnara sedang mengamati sesuatu, segera mengikuti arah pandangan temannya itu sembari meneguk es lemon tea yang dipesannya bersama seporsi tahu sumedang.
"Liatin siapa?" tanya Fio usai meneguk minumannya.
"Enggak liatin siapa-siapa," jawab Elnara merasa enggan bercerita perihal tragedi kodok dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
"Cowok itu?" Fio menunjuk ke arah yang sejak tadi diperhatikan oleh Elnara.
"Hush, jangan nunjuk-nunjuk, nanti kalau orangnya tau gimana?" protes Elnara dengan jantung yang berdebar-debar. Takut ketahuan memperhatikan.
"Kenal?" tanya Fio lagi.
"Enggak," jawab Elnara seraya menggeleng.
"Suka?"
"Ish, apaan, sih?"
Fio tertawa melihat ekspresi wajah Elnara yang merona. Fio tidak tahu saja itu rona malu akibat tragedi kodok lompat, bukannya malu yang lain.
"O, ya. Gimana kabar kamu selama aku tinggal ke Jakarta?" tanya Fio mengalihkan pembicaraan. Sementara atensi Elnara sesekali masih mencuri pandang ke arah pria tadi.
"Kayak yang kamu lihat. Aku baik-baik aja," jawab Elnara seraya mengedikkan bahunya.
"Yakin enggak ada yang disembunyiin?" goda Fio tak percaya.
"Apa yang harus disembunyiin coba?"
"Status WhatsApp kamu tempo hari itu apa?"
"Status yang mana?"
"Jika dua orang punya visi dan misi yang sama, berdua lebih baik dari sendirian."
Elnara terbatuk mendengarnya. Ia lupa sahabatnya ini begitu jeli untuk hal-hal yang dirahasiakan macam begitu. Memang sulit menjaga rahasia dari Fio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...