Dua hari sudah berlalu, Elnara belum mendapatkan kabar apapun dari Farel perihal kondisi Haris. Rasa penasaran terus menggelayuti perasaan Elnara sehingga membuat gadis itu pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan sang kakak. Ia pergi pagi-pagi sekali padahal ia tahu persis tidak akan bisa masuk jika belum waktunya jam besuk. Namun, justru di sanalah kesempatannya.
Maka dengan bermodal nekat, Elnara pergi. Lengkap dengan pakaian rapi karena setelah ini ia akan langsung pergi bekerja.
Mungkin memang keberuntungannya, ketika di bagian resepsionis ruang ICU, ia bertemu dengan ibunya Haris yang terlihat begitu kuyu. Ia sedang berbicara dengan perawat yang sedang berjaga. Awalnya Elnara ragu untuk mendekat. Ia merasa malu dan tidak punya wajah lagi untuk sekadar bertemu.
"Elnara?" Suara lembut itu membuyarkan atensi Elnara dari kecamuk pikirannya.
Perlahan ia pun mendekat dan mencium tangan ibu dari laki-laki yang hampir saja menjadi suaminya itu.
"Kamu sendirian? Farel kan sudah kembali ke Jakarta semalam," ujar wanita paruh baya itu seraya menatap Elnara khawatir.
"El sendirian, Umi," jawab Elnara seraya berusaha untuk tersenyum. "Umi sendiri kenapa di sini?" tanya Elnara kemudian.
"Lagi menunggu saudara yang datang dari Jawa. El mau lihat keadaan Haris? Kebetulan Umi mau keluar. El bisa gantikan umi menunggui Haris."
Perasaan bersalah Elnara semakin menjadi. Bagaimana Elnara bisa tega menghancurkan senyum teduh di wajah wanita seusia uminya itu. Mungkin saja ibunya Haris belum tahu yang sebenarnya karena Haris bahkan belum sempat pulang usai pembicaraan malam itu. Jika tahu yang sebenarnya, mungkin ibunya Haris tidak akan bersikap sebaik itu kepadanya.
"Boleh Umi?" tanya Elnara ragu.
"Boleh. Kenapa enggak?"
"Terima kasih, Umi."
Mereka pun sempat berbincang sejenak soal kondisi Haris sebelum ibunya berpamitan keluar.
Sepeninggal ibunya Haris, Elnara melangkah ke arah ruang ICU tempat Haris dirawat. Ia tidak bisa masuk ke ruangan, begitu juga dengan ibunya Haris berdasarkan ceritanya tadi. Hanya bisa menunggui dari luar dan menatap keadaannya dari jendela kaca yang ada di pintu masuk.
Dari cerita yang Elnara dapat mengenai kecelakaan yang dialami oleh Haris, kecelakaan itu bermula ketika Haris mengendarai mobilnya di tengah hujan lebat. Malam itu, ketika Haris meninggalkan rumah Elnara, hujan masih belum begitu deras.
Ketika tiba di bundaran Cibiru, jalanan cukup lengang karena hari sudah mulai larut ditambah lagi dengan derasnya hujan yang turun sehingga membuat orang malas beraktivitas di luar.
Menurut saksi mata yang pada saat itu ada di tempat kejadian, saat Haris memutar mobilnya di tempat putar balik kendaraan, ia tidak melihat ada sebuah bus jurusan Bandung-Cirebon yang melaju cukup kencang dari arah kiri. Diduga saat itu Haris sedang melamun atau mengantuk. Mobilnya terhantam bagian depan bus hingga terseret sekitar 50 meter.
Ketika dievakuasi, Haris dalam kondisi tidak sadarkan diri dengan kondisi luka cukup parah di bagian kepala dan kaki.
Air mata kembali menetes di wajah Elnara. Apalagi teringat wajah lelah ibunya Haris tadi. Jiwa Elnara terlalu lemah untuk menghadapi hal seperti itu. Apalagi kali ini ia datang seorang diri, tanpa Farel yang tempo hari bisa menguatkannya.
Elnara berjalan pelan ke arah kursi tunggu tempat keluarga pasien ICU biasa beristirahat. Ia terduduk lemas di sana. Ponselnya bergetar. Nomor Fio yang kembali menghubunginya setelah dua hari ini ia tidak mengangkat telepon dari siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...