🏮#44: Kemantapan Hati🏮

27 3 0
                                    

Elnara melihat pemandangan itu dengan jelas di depan matanya. Ketika Haris tersenyum bahagia sembari menggandeng tangan Aisha dalam balutan gaun cantik berwarna putih. Di kerudung putihnya tersemat mahkota yang terbuat dari berbagai macam bunga. Terlihat anggun seperti seorang putri.

Matanya memburam. Perasaannya campur aduk antara ikut bahagia dengan sedikit sesak. Sebuah suara dari hati kecilnya kemudian berbisik.
"Bukankah seharusnya kamu yang ada di posisi Aisha?"

Namun, Elnara cepat mengusir pikiran itu jauh-jauh. Penolakannya terhadap Haris merupakan hasil keputusan dengan melalui berbagai pertimbangan matang. Tidak seharusnya ia menyesali apa yang sudah diperbuatnya.

"Kenapa El menatap kami begitu? Apa  El masih berharap untuk bersama Mas Haris?" tanya Aisha yang menyadari keberadaan Elnara di sana.

"Enggak, Teh." Elnara berujar lirih. Ia merasa bersalah kepada perempuan itu.

"Jangan berharap lagi kepada saya, El. Saya sudah jadi milik orang lain sekarang." Haris menimpali seraya mempererat genggamannya di tangan Aisha.

Cairan di ujung mata yang sejak tadi sudah teronggok, kini berdesakan keluar. Elnara menitikkan airmata karena teringat kembali dengan apa yang sudah ia lakukan kepada Haris. Rasa bersalah itu nyatanya masih tersimpan rapi di dalam dirinya.

Elnara merasa dirinya begitu terpuruk karena semua orang seperti menyudutkan dirinya. Di tengah keputusasaan dan rasa sesak yang menghimpitnya itu, Elnara mendengar sebuah suara dari arah lain.

"El, jalan yang harus kamu tempuh bukan ke arah sana. Tapi, ke arah sini."

Elnara kenal betul suara siapa itu. Ia pun segera menoleh ke arah datangnya suara. Benar saja dugaannya, Al sedang berdiri di sisi lain. Di sebuah jalan yang terasa tidak asing. Jalan yang hingga kini masih dipenuhi oleh kerikil dan rumput liar.

"Jodoh kamu bukan Haris. Jodoh kamu itu saya." Al berkata lagi seraya mengulurkan tangannya untuk Elnara sambut kemudian tersenyum hangat.

"Mas Al ...." gumam Elnara dengan mata yang kembali berkaca. Hatinya menghangat dan perasaan ingin menyambut uluran tangan itu terasa begitu kuat.

Elnara ingin menyambut tangan Al, tetapi sebuah suara menginterupsi semuanya.

"El, bangun. Sudah adzan Subuh."

Elnara membuka matanya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata agar pandangan matanya semakin jelas. Ia melihat langit-langit kamarnya yang gelap. Sementara suara uminya sudah tidak terdengar.

Detik berikutnya ia tersadar bahwa pemandangan yang baru saja ia lihat itu adalah mimpi. Mimpi yang membawanya pada sebuah perasaan baru. Kehadiran sosok Al dalam mimpinya tadi seolah memperjelas siapa sosok pria tak dikenal yang membawa cahaya dalam mimpinya tempo hari.

Gadis itu terbangun dengan hati yang bergetar. Ia ingat sebelum tidur tadi malam, ia sempat melaksanakan solat istikharah kembali. Untuk memantapkan hatinya apakah memang Al adalah orang yang tepat untuknya.

Di samping itu, ia meminta ketenangan agar mampu menerima kenyataan bahwa keesokan harinya, Haris akan menikah. Untuk yang satu ini, Elnara bolak-balik membangunkan Farel yang sudah nyaris terlelap hanya untuk bertanya apakah ia harus datang ke pernikahan Haris?

Rupanya mimpi itu menjadi jawaban dari semuanya. Jawaban dari teka-teki yang selama ini masih tak teraba. Baik itu soal pria misterius, maupun soal Haris.

Teringat kembali dengan bagaimana keluarganya memperlakukan Al tadi malam, Elnara semakin merasa diyakinkan bahwa ia harus menerima Al. Pria itulah yang Allah pilihkan untuknya. Kecenderungan hati pun semakin kepadanya.

🏮🌟🏮


Sejak pagi perutnya mulas-mulas, tetapi saat ke kamar mandi, mulasnya hilang. Begitu terus berulang hingga beberapa kali. Membuat Farel yang sudah siap dengan pakaian rapinya mengomel tidak jelas.

"Kamu mau ikut enggak, El?" tanyanya tidak sabar.

"Sebentar loh, Mas. Masih mules banget ini." Elnara mengelus perutnya yang melilit.

"Ya udah, buruan. Nanti kita ketinggalan acara akadnya."

Umi yang datang dengan sebotol minyak kayu putih langsung menggamit lengan putri bungsunya. Membawa gadis itu untuk duduk di sofa.

"Sini, umi olesin minyak kayu putih."

"Ini bukan sakit perut masuk angin, Mi." Elnara menolak.

Farel mengembuskan napasnya putus asa. Ia kira cukup semalaman saja Elnara berulang kali menanyakan apakah ia harus datang ke pernikahan Haris lalu apa yang harus ia lakukan di sana. Nyatanya setelah adik semata wayangnya itu mengganggu waktu tidurnya dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak penting, pagi ini mereka masih juga diganggu oleh kecemasan Elnara yang tidak masuk akal.

"Kalau kamu belum siap untuk ketemu Haris, memangnya kamu pikir Masmu ini udah siap ketemu Aisha?" tanya Farel sarkatis.

"Mas, jangan gitu. El jadi ngerasa semakin bersalah." Elnara menatap sang kakak dengan tampang nelangsa.

"Ini saatnya kalian move on. Buktikan kalau kalian baik-baik saja enggak jadi sama mereka." Umi yang sudah tahu semua ceritanya memberi tanggapan.

"Umi kok tahu istilah move on?" tanya Elnara yang hanya pasrah bagian perutnya diolesi minyak angin oleh sang ibu.

"Begini-begini, umi kan masih sering ngikutin perkembangan anak muda zaman sekarang," kilah sang umi.

"El, masih berharap sama Haris? Bukannya kamu udah nolak dia tempo hari? Terus nasibnya Al gimana itu kamu gantungin gitu. Kasian anak orang loh, El." Abi ikut nimbrung dalam obrolan itu. Pria paruh baya itu juga sudah siap dengan baju batik kembaran dengan umi sejak tadi.

"Enggaklah, Bi. Cuma...."

"Ngenes aja, kan? Kayak masih belum ikhlas dia sama orang lain padahal jelas-jelas udah kita tolak. Itu namanya sifat manusiawi kita yang serakah. Wajar tapi enggak untuk dijadikan pembenaran." Farel menambahi.

Elnara menatap sang kakak dengan mata berkaca. Bukankah laki-laki itu bernasib sama seperti dirinya. Elnara berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak sendirian. Keyakinan itu seperti menyuntikkan semangat baru sehingga pelan-pelan rasa sakit di perutnya menjadi samar.

"Mas, ayo kita saling menguatkan." Elnara berkata seraya bangkit. Kemudian tiba-tiba meraih tangan sang kakak lalu menggenggamnya. Membuat lelaki itu berjengit kaget.

"Enggak usah tiba-tiba jadi sok romantis gitu sama Mas, El. Mas bisa kena serangan jantung saking merindingnya dengan tingkah aneh kamu," ledek Farel seraya pura-pura jijik melihat tangannya yang digenggam oleh sang adik.

"Lebay!" sungut Elnara seraya memukul pelan punggung Farel.

"Ya, teruslah seakrab ini kalian sebelum punya gandengan masing-masing," celetuk umi sembari menyimpan kembali minyak kayu putih yang ia gunakan untuk mengolesi perut Elnara tadi.

"Udah punya gandengan pun, harapan abi sama umi kalian bisa tetap akrab. Tapi, tetap memperhatikan batasan." Abi menimpali.

Diam-diam kedua orang tua mereka saling bertatapan kemudian tersenyum. Mereka merasa lega karena sepertinya kedua orang yang hatinya sedang tidak baik-baik saja itu sudah mulai bisa menguasai diri mereka.

"Sebenernya, El bukan mules karena mau dateng ke pernikahan Mas Haris, Mas," ujar Elnara ketika mereka berjalan mendahului Abi dan Umi.

"Terus, karena apa?" tanya Farel keheranan.

"Karena takut ketemu sama Mas Al di sana," jawab Elnara seraya tertunduk malu.

Terdengar Farel menghela napasnya. Merasa kasihan dengan nasib pemuda itu.

"Semoga dia tabah dan enggak lari setelah ditolak berkali-kali. Kasihan dia, El."

"Kali ini El enggak akan nolak lagi, Mas," timpal Elnara seraya melepaskan genggamannya dari lengan Farel dan berjalan mundur untuk bersama Abi dan Umi yang ada di belakang mereka.

🏮🌟🏮

InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang