Suasana dan pemandangan yang kini terhampar di hadapannya sungguh tidak asing bagi Elnara. Rasanya ia pernah berada di tempat itu sebelumnya. Padang rumput yang sangat luas dengan tidak terlihat ujung di sudut mana pun.
Sedang apa dan untuk apa ia berada di tempat itu, tak diketahuinya. Ia hanya terus berjalan mengikuti sebuah cahaya yang terlihat di kejauhan.
Perlahan jarak Elnara dan sumber cahaya itu kian mendekat. Hingga akhirnya Elnara bisa melihat dengan jelas berasal dari mana cahaya kecil itu. Dari sebuah lentera sederhana yang dibawa oleh seorang pria di salah satu tangannya.
"Kamu berubah pikiran, El?" tanya sosok itu yang wajahnya belum jelas terlihat karena lenteranya tidak sejajar dengan wajah. Pendar cahayanya juga tidak begitu terang hingga tidak sampai menerangi wajah pemegangnya dengan jelas.
"El, bangun!"
Suaranya kini berganti. Bukan lagi suara laki-laki, tetapi seperti suara umi.
"El, kamu sudah makan belum?" Suara umi terdengar semakin jelas. Pendar cahaya dari lentera yang Elnara lihat sebelumnya, kini berganti menjadi pendar cahaya lampu di ruang tengah.
"Umi?" tanya Elnara saat wajah uminya memenuhi ruang penglihatan.
"Kamu ketiduran lagi. Sana makan dulu, baru tidur lagi di kamar," perintah umi.
Elnara mengucek matanya. Kini ia sepenuhnya tersadar bahwa dirinya ada di ruang tengah. Tempat biasa ia menonton televisi bersama keluarga. Bukan di padang rumput tak berujung dengan pria pembawa cahaya di lentera yang dengan percaya dirinya menawari untuk menjadi bidadari surganya.
"Ini jam berapa, Mi?" tanya Elnara seraya bangun dari posisi berbaring menjadi posisi duduk.
"Sudah hampir setengah sepuluh," jawab umi seraya mematikan televisi yang sejak tadi masih menyala.
"Abi udah pulang, belum, Mi?"
"Udah. Lagi mandi sama mau siap-siap salat Isya. Abi yang suruh umi untuk bangunin kamu."
Elnara mengusap wajahnya. Hatinya kembali gelisah usai mengalami mimpi itu. Jika mimpi itu hanya bunga tidur, lalu kenapa seperti sinetron yang bersambung?
"Umi mau ke mana? Mau nyiapin makan Abi, ya?" tanya Elnara saat sang umi beranjak ke dapur.
"Iya, mau angetin pindang ikan sama rebus sedikit sayur buat lalapan."
"El bantu ya, Umi." Elnara bergegas menyusul sang umi ke dapur.
"Kamu enggak jadi tidur?"
"Kan kata Umi tadi El suruh makan dulu. Sekalian aja El nyiapin buat makan El juga. El mau makan bareng Abi."
Kedua anak dan ibu itu asyik berjibaku di dapur. Sambil sesekali terdengar mereka mengobrol entah apa. Hingga abi sudah selesai salat Isya dan duduk manis di meja, kedua perempuan berbeda generasi itu pun menyudahi kesibukan mereka di dapur. Keduanya datang ke meja makan bersama pindang ikan yang asapnya mengepul, juga sepiring sayuran rebus beserta sambal terasi spesial buatan umi.
"Pules banget tidur kamu, El. Kecapean di kantor apa gimana?" tanya Abi begitu sang putri sudah duduk di meja makan. Umi pun akhirnya jadi ikutan duduk di sana, padahal beliau sudah makan selepas salat Isya tadi.
"Lumayan, Bi. Tadi El baru sampai rumah selepas Maghrib. Biasanya kan Maghrib El udah di rumah," jawab El sambil menyendokkan nasi ke piringnya.
"Makan yang banyak, biar besok punya banyak tenaga untuk kerja lagi." Umi menambahkan lagi nasi ke piring Elnara.
Elnara tidak menolak. Perutnya sangat lapar. Energinya seperti habis tersedot oleh mimpi tadi.
"Menurut Abi sama Umi, gimana kalau semisal El coba ta'aruf lagi?" tanya Elnara hati-hati. Mimpi tadi benar-benar mengganggu pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomansaElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...