Selama beberapa hari ini Elnara terus teringat dengan perkataan Haris bahwa ibunya ingin berkunjung di akhir pekan. Hal itu sangat mengganggu pikirannya karena terus terang saja, Elnara belum siap untuk konsekuensinya.
Bagaimana jika ternyata setelah kunjungan itu, Elnara belum juga mendapat petunjuk akan istikharah-nya? Bagaimana jika setelah kunjungan itu Elnara justru memutuskan tidak ingin melanjutkan prosesnya dengan Haris? Hati manusia yang labil kan fitrahnya memang berubah-ubah dan Elnara tidak bisa menjamin hatinya sendiri akan keputusan yang diambilnya.
Di tempat kerja, Elnara jadi sering melamun. Begitu juga ketika berada di rumah. Berulang kali umi menatapnya keheranan ketika berkata ingin ke kamar mandi, malah pergi ke kamar Farel. Atau pernah bilang ingin beli gorengan di jalanan depan kompleks, malah pergi ke halaman belakang rumah. Ketika ditanya kenapa begitu, jawabnya ia lupa arah. Membuat umi geleng-geleng kepala.
Malam itu, Elnara tidak kuat lagi. Ia pun menceritakan semua kegelisahannya dengan sang ibu.
"Kamu kenapa sebenernya, El?" tanya umi seraya menepuk-nepuk pundak Elnara yang tiba-tiba memeluk umi kemudian sesenggukan.
"Apa El tolak aja Mas Haris, ya, Mi?" ujar Elnara lirih, tetapi sang ibu masih bisa mendengarnya dengan baik.
"Kenapa tiba-tiba? Bukannya kemarin kamu kelihatan senang?" tanya umi sembari mengelus-elus kepala putrinya yang tertutup kerudung.
"Enggak tahu kenapa El selalu gelisah. Apalagi waktu Mas Haris bilang ibunya mau dateng ke sini lusa. Katanya mau lihat calon menantunya. El merasa terbebani, Umi."
"Kenapa terbebani?"
"El belum kasih keputusan apakah menerima Mas Haris. Tapi, ibunya aja udah menganggap El calon menantu."
"Loh, kan memang iya masih calon, toh? Apanya yang salah?" tanya umi santai.
Elnara melepas pelukannya dari sang ibu, kemudian menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan iba.
"Gimana kalau enggak jadi, Mi? Kan El jadi merasa enggak enak."
"Jadi kedatangan Haris dan ibunya lusa seperti membuat El merasa tidak enak ketika memilih?" tanya umi seraya meraih tangan Elnara kemudian mengelus-elusnya.
"Iya, Umi. Apa El hubungi Mas Haris dan bilang jangan datang dulu?"
"Hus, enggak sopan namanya. Orang mau berkunjung kok dilarang. Ya kalaupun pada akhirnya kalian enggak jadi, silaturahmi itu enggak ada salahnya. Kita harus tetap menjaga hubungan baik. Kamu jangan terbebani oleh hal itu." Umi memberi pengertian.
"Terus, El harus gimana supaya hati ini tenang, Umi?"
"Serahkan semuanya sama Allah, Nak. Kamu sudah istikharah?"
"Sudah, Mi." Elnara mengangguk.
"Sudahkah ada tanda-tandanya? Hati kamu cenderung ke mana?"
"Enggak tahu, Umi. Mungkin karena El pernah ada rasa dengan Mas Haris, jadi walaupun hati El enggak condong ke beliau, El masih tetap berharap sama beliau. El bingung, Umi." Elnara pasang wajah nelangsa.
Jodoh tak kunjung datang, membuat galau. Jodoh yang sudah datang juga sama galaunya.
"Jangan pernah lelah meminta sama Allah. Dia yang Maha Tahu apa yang terbaik buat kita."
Maka, sebelum tidur malam itu, Elnara mengambil air wudhu dan kembali solat dua rakaat. Meminta petunjuk kepada Allah, apa keputusan yang harus ia ambil agar semua ini tidak berlarut-larut. Semakin lama, justru Elnara akan semakin sulit menentukan pilihan.
Dalam sujudnya Elnara menangis terisak mengingat segala dosa dan kesalahan yang telah ia perbuat selama ini. Termasuk memiliki kecenderungan hati kepada Haris dan melibatkan perasaan itu dalam memilih. Padahal Elnara tahu, perasaan itu belum halal.
Elnara pun memohon dengan segala kerendahan hati dan kekurangan diri agar Allah memberikan pilihan yang terbaik untuk dirinya.
Usai melaksanakan solat, Elnara pun tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi.
Elnara berjalan sendirian di sebuah padang rumput yang luas dan tak berujung. Di kanan kirinya hanya ada rerumputan liar dan ilalang. Semua jalan yang dilalui memiliki pemandangan dan bentuk yang sama. Sebuah jalan lurus tanpa berbelok. Terasa lama sekali Elnara berjalan hingga kakinya mulai merasakan lelah. Namun, Elnara terus berjalan tanpa tahu kapan perjalanannya itu menemukan ujung.
Peluh mulai membasahi tubuhnya, emosinya pun memuncak. Segala perasaan kesal, lelah, dan putus asanya bercampur menjadi satu. Perlahan langkah Elnara pun mulai melemah. Ia pun memutuskan berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.
Ketika ia hendak melanjutkan perjalanan, sudah ada dua jalan terbentang di hadapannya. Jalan yang sebelah kanan adalah jalan licin beraspal bagus. Banyak ditumbuhi beraneka jenis bunga warna-warni di kedua sisi jalannya. Aroma beraneka jenis bunga itu menyebar terbawa angin. Membawa kesejukan tersendiri bagi Elnara yang sudah lelah berjalan jauh.
Di jalan itu berdiri seorang pria yang sedang tersenyum ke arahnya. Elnara mengenali sosok itu sebagai Haris.
"El, ayo kita ke surga bersama-sama," ajak Haris seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum.
Seketika lelah yang dirasakan oleh Elnara beberapa saat lalu menguap. Perjalanan tanpa ujungnya kini telah menemukan teman. Ia tidak lelah sendirian lagi.
Ketika Elnara hendak menyambut uluran tangan Haris, ia melihat presensi pria lain yang berdiri di jalan sisi sebelah kiri. Jalan yang sejak tadi belum ia lirik sedikitpun.
Elnara pun mengalihkan atensinya ke jalan itu. Jalanannya jelek. Tidak sebagus jalan yang hendak ia pilih. Jalanan itu masih berupa batu kerikil di mana-mana. Belum diaspal bagus. Sementara di sisi kanan kiri jalannya tidak ditumbuhi oleh bunga. Hanya rumput liar berduri yang ada di sana. Jalanan itu pun tampak gersang, sementara sosok pria yang berdiri di jalan itu tidak pernah Elnara lihat dan tidak pernah ia kenal. Wajahnya buram, tidak terlihat jelas.
"El, mau jadi bidadari surga, gak?" tanya pria itu seraya mengulurkan tangannya. Sama persis seperti yang Haris lakukan beberapa saat lalu.
Suara itu begitu familier di telinga Elnara. Namun, gadis itu tidak ingat siapa pemilik suaranya. Otaknya terlalu sibuk berpikir tentang dua jalan yang ada di hadapannya.
Jalan bagus nan mulus untuk berjalan ke surga bersama-sama dengan Haris, ataukah jalan berkerikil dengan seseorang yang belum ia kenal sebelumnya untuk menjadi bidadari surganya?
Elnara terjebak di antara dua pilihan. Semakin rumit saja perasaannya. Jika sebelumnya ia hanya harus memilih apakah akan menerima Haris atau tidak, kini justru ia harus memilih antara Haris dan sosok lain.
Ia harus segera memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Entah kenapa tiba-tiba saja hati Elnara menjadi mantap. Ia pasrahkan semuanya kepada Allah, seperti nasihat yang uminya berikan. Dengan mengembuskan napas kuat-kuat dan membaca basmalah, tanpa keraguan sedikitpun, kakinya melangkah ke arah jalan berkerikil dan menyambut uluran tangan pria yang belum ia kenal.
"Astaghfirullah, Subhanallah ...."
Elnara terbangun dan segera beristighfar. Napasnya masih memburu dan bahkan buliran keringat masih membasahi keningnya.
Ia bertanya-tanya sendiri dalam hati, kenapa jalan itu yang dipilihnya? Apa itu pilihan yang Allah pilihkan untuknya? Bukan Haris orangnya yang akan ia pilih untuk menemani perjalanan tak berujungnya itu. Lalu, siapa sosok tak dikenal itu? Kenapa hatinya begitu yakin padahal tidak mengenal sosok itu sebelumnya?
"Apakah ini jawaban dari-Mu, Ya Rabb?" lirih Elnara lalu bangkit dan sujud lama sekali hingga akhirnya ia mantap membuat keputusan.
🏮🌟🏮
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...