🏮#2: Kepalang Malu🏮

23 5 0
                                    

Si pria sama sekali tidak terganggu dengan teriakan Elnara. Dengan santainya ia mengambil di makhluk hijau berlendir lalu menyerahkannya ke si bocah yang masih terkesima.

"Lainkali, enggak boleh ngerepotin orang lagi," ujarnya kepada si bocah.

"Keyo!" Si bocah tidak peduli. Ia segera mengambil si kodok dan mengelus-elusnya tanpa rasa jijik sedikitpun. Elnara sampai melongo dibuatnya.

"Mbak, enggak apa-apa?" tanya si pria kepada Elnara yang masih terdiam dalam posisinya.

Mata Elnara mengerjap canggung lalu dengan cepat memperbaiki posisi tubuhnya. Sembari membersihkan bagian depan pakaiannya yang tentu kotor terkena paving yang basah sehabis hujan.

"Baju Mbak jadi kotor," ujar pria itu lagi.

"Enggak apa-apa." Elnara menanggapi dengan cepat. Wajahnya tertunduk karena malu.

"Mau pinjam jaket saya, Mbak?" Pria itu menawari seraya hendak melepaskan jaket yang sedang dipakainya.

"Eh, enggak usah." Elnara cepat menolak. Tentu akan risi memakai jaket milik orang lain, apalagi seorang laki-laki asing yang tidak dikenalnya.

"Saya jadi enggak enak. Baju Mbaknya kotor karena bocah ini." Pria itu berkata lagi seraya menarik salah satu pipi bocah perempuan yang masih asyik mengelus-elus kodoknya.

"Aw, sakit Ayyay!" protes si bocah seraya menepis tangan si pria kemudian mengelus-elus bekas cubitannya tadi.

"Cepet minta maaf sama Kakaknya," perintah si pria kepada si bocah.

"Maaf, ya, Kakak. Tapi, teyima kacih udah tangkepin Keyoku yang yucu."

Antara rasa gemas dengan nada bicara si bocah yang masih cadel dengan rasa jijik melihat si bocah terus mengelus-elus si makhluk hijau berlendir, Elnara hanya mampu memperlihatkan ringisan di wajah.

"Ayo, umi udah nungguin kamu, tuh." Si pria menggamit satu tangan si bocah perempuan seolah tak ingin membiarkannya lepas lagi.

"Cekayi yagi, teyima kacih ya, Kakak." Si bocah tersenyum dengan memperlihatkan beberapa gigi depannya yang ompong.

Elnara hanya mampu tersenyum canggung, apalagi saat netranya bertemu dengan tatapan si pria yang masih fokus ke arah bagian pakaian Elnara dengan rasa bersalah.

"Ini enggak apa-apa, Kok. Beneran. Jangan dipandangin terus kayak gitu. Saya risi," protes Elnara dengan refleks merapikan kerudung yang menjuntai agar menutupi noda pada pakaiannya. Ia risi ditatap tak berkedip begitu.

"O, ya. Maaf." Si pria berkata canggung kemudian berbalik pergi.

Segera saja Elnara ambil langkah seribu meninggalkan taman itu. Niatnya ingin menenangkan hati malah justru jadi tak enak hati karena tragedi kodok lompat barusan.

"Eh, Mbak ....?" tanya si pria yang langsung berbalik badan lagi. Namun, raut kecewa segera muncul di wajahnya ketika melihat punggung Elnara sudah menjauh.

Usai menghela napas, pria itu berbalik lagi. Fokusnya kini beralih ke bocah yang tangannya sedang ia genggam.

"Kenapa Keronya dikeluarin dari kandang? Kan jadi lepas ke mana-mana."

"Bukan dikeyuayin yoh, tapi keyuay cendiyi, yompat-yompat."

Sementara Elnara yang terburu-buru meninggalkan area taman, langkahnya harus terhenti ketika ada seseorang yang menghentikannya.

"Teh, punten, boleh tanya?" sapanya dengan senyum hangat.

Elnara bisa saja mengabaikannya dengan alasan sedang terburu-buru, tetapi melihat senyum setulus itu rasanya tidak sampai hati. Maka ia pun menghentikan langkahnya.

InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang