🏮#16: Terguncang🏮

11 4 1
                                    

Berita itu datang ketika Elnara usai menunaikan salat Duha di masjid kompleks Yayasan. Sebuah telepon dari Farel yang begitu mengguncang dunianya.

"Assalamualaikum, El."

"Iya, Mas. Tumben nelepon. Ada apa?"

"Kamu yang sabar, ya, Dek. Jangan menyalahkan diri sendiri setelah dengar kabar ini."

"Ada apa, sih, Mas? Jangan buat El penasaran."

"Haris, kecelakaan tadi malam. Pulang dari rumah kita, El. Sekarang lagi ada di ICU. Di rumah sakit Islam."

Elnara membeku sesaat. Haris kecelakaan. Apa ini ada hubungannya dengan penolakan dirinya semalam? Jika benar, bagaimana bisa Elnara tidak menyalahkan dirinya sendiri?

Tanpa berpikir dua kali, ia bergegas kembali ke studio. Bermaksud untuk meminta izin tidak kerja hari itu. Ia ingin ke rumah sakit. Melihat kondisi Haris, tentu saja. Jika bekerja pun, Elnara yakin ia tidak akan bisa fokus mengerjakan tugasnya.

Ia bingung, harus meminta izin ke siapa? Ke bagian Humas kah? Mas Hasan sendiri baru akan kembali Senin besok. Ia juga sedang mengambil cuti karena menunggui ibunya yang sakit. Sementara wakilnya, Mbak Ivy sedang ada pertemuan dengan klien di luar kantor.

Satu tempat yang terpikirkan olehnya saat itu adalah ruang manajer tempat ia diwawancara tempo hari. Maka ia pun bergegas ke sana. Diketuknya pintu ruangan itu begitu ia tiba. Setelah suara dari dalam mempersilakan masuk, Elnara membuka pintu itu. Dilihatnya ada dua orang pria sedang asyik mengobrol di sofa. Bukan di meja kerja.

"Elnara?" tanya Al keheranan. Salah satu pria itu adalah Al, sementara yang satunya lagi Elnara ingat pernah melihatnya di kafetaria. Namun, ia lupa siapa namanya.

"Maaf, Mas. Saya mau izin tidak bekerja hari ini. Bisa minta izin ke siapa, ya?" tanya Elnara buru-buru. Tidak sempat lagi berpikir kenapa dua pria itu bisa ada di ruang manajer. Pikirannya juga tidak sampai pada kemungkinan kalau salah satu dari pria itu adalah manajernya.

"Ada apa, El?" tanya Al yang lebih cepat merespons ketimbang pria satunya lagi.

"Ada kenalan yang kecelakaan. Kondisinya kritis. Masih belum sadar dan sekarang sedang ada di ICU. Saya mau nengok beliau, Mas." Suara Elnara terdengar bergetar, napasnya juga turun naik tidak beraturan. Gadis itu tampak kacau.

"Perlu saya anter, enggak, El?" Al menawarkan bantuan yang langsung ditolak oleh Elnara.

"Enggak perlu, Mas. Saya bisa naik bus. Kalau Mas Al mau tolong saya, tolong izinkan saya libur hari ini, ya, Mas." Elnara menatap Al dengan tatapan penuh harap.

"Tapi, kamu keliatan kacau, El." Al tampak khawatir.

"Insya Allah, saya enggak apa-apa." Elnara berusaha meyakinkan.

"Ta ...." Ucapan Al segera dipotong oleh pria yang satunya lagi.

"Hati-hati di jalan, ya, El. Nanti saya urus perizinan libur kamu."

Tidak menunggu lama lagi, setelah mengucapkan terima kasih, Elnara segera pergi meninggalkan studio. Langkahnya cepat, tetapi serampangan. Sekacau isi pikiran dan kondisi hatinya saat itu.

Elnara berbohong kepada Al kalau ia baik-baik saja. Sebenarnya, ia tidak baik-baik saja.

🏮🌟🏮

Tatapan Elnara masih saja kosong menatap tubuh Haris terbujur kaku di ruang ICU. Seluruh tubuhnya penuh luka dan bunyi alat pendeteksi detak jantungnya berbunyi lemah. Peralatan medis terpasang di banyak bagian tubuhnya. Selang oksigen juga tetesan infus dan transfusi darah terus bekerja memberi nutrisi untuk tubuh tak berdaya itu. Tetesannya bahkan lebih cepat dari detak jantung si pasien, seolah berkejaran untuk menyelamatkan nyawa jiwa yang sedang sekarat itu. Elnara tidak sampai hati melihatnya.

InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang