Mata Elnara tak kunjung terpejam malam itu. Kepalanya penuh dengan hal-hal yang berseliweran tak tentu arah. Ini jauh lebih membingungkan dari lamaran Haris tempo hari. Ditambah lagi jawaban refleks yang ia berikan saat itu.
"Enggak!" Elnara menjawab tegas kala Al kembali bertanya meminta jawaban.
Raut kekecewaan di wajah Al masih terbayang di benak Elnara hingga saat itu. Elnara takut akan mencelakai orang untuk kedua kalinya akibat penolakan.
Berulang kali ia mengambil ponsel, tetapi selang beberapa detik ia letakkan kembali. Maksud hati ingin memastikan Al sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja, tidak mengalami kecelakaan atau sejenisnya usai ditolak ajakannya untuk menikah. Namun, Elnara takut jika perbuatannya itu malah menimbulkan masalah baru.
Elnara membalik tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya yang masih terang benderang. Belum sempat ia matikan lampu tadi. Diliriknya jam di dinding kamar. Pukul sepuluh malam. Perut Elnara berbunyi. Padahal tadi selepas salat Isya ia sudah makan sepiring nasi goreng spesial buatan umi.
Dengan malas-malasan, Elnara bangun dari tempat tidurnya. Keluar ke kamar ke arah dapur. Bermaksud ingin masak sebungkus mi instan yang biasa disiapkan umi.
Berapa terkejutnya Elnara ketika menemukan uminya belum tidur. Beliau masih duduk di sofa ruang tengah, menonton televisi.
"Kamu belum tidur, El?" tanya umi melihat Elnara yang berjalan ke arah dapur.
"Masih laper, umi. El mau masak mi," jawabnya seraya membuka pintu lemari kecil penyimpan makanan di sudut dapur.
"Umi masakin sekalian, ya. Kasih sawinya yang banyak, telurnya dua."
"Umi mau begadang?" tanya Elnara seraya mengisi panci dengan air sampai nyaris penuh.
"Masih nungguin abi pulang. Katanya sampai rumah sekitar satu jam lagi. abi lupa bawa kunci cadangan. Nanti kalau umi tidur takutnya enggak denger abi pulang," jawab uminya kemudian tertawa karena adegan lucu dari film yang sedang ditontonnya di televisi.
Sepanjang memasak mi instan, Elnara hanya terdiam. Sesekali ia menatap sang umi yang duduk membelakanginya. Terbayang di pelupuk matanya jika ia memutuskan untuk menikah sekarang, uminya pasti kesepian. Mata Elnara berkaca-kaca. Tebersit sebuah tanya dalam benaknya, apakah boleh jika ia tidak usah menikah?
Lamunan Elnara langsung buyar ketika air yang sudah ia masukkan telur meluber keluar dari panci. Segera saja ia kecilkan api kompornya agar gejolak panas di dalam panci cepat berkurang.
"Kamu udah tahu kabar Haris, El?" tanya umi saat Elnara sibuk memasukkan potongan sawi ke dalam panci.
"Terakhir yang El tahu, Mas Haris sudah keluar dari rumah sakit. Setelahnya, El enggak tahu lagi kabarnya," jawab Elnara. Lebih tepatnya, Elnara memang tidak mau tahu lagi. Bukankah begitu seharusnya? Tidak ada kepentingan lagi di antara mereka kini.
"Terus, rencana kamu ke depannya bagaimana, El?" tanya umi seraya menoleh ke belakang karena acara yang ditontonnya sedang iklan. Memperhatikan putri bungsunya itu sedang memasukkan mi ke dalam panci lalu mengaduk-aduknya.
"Enggak tahu, Umi. Kayaknya El mau fokus sama karir dulu. El kan belum ada sebulan kerja."
"Kejadian kamu sama Haris jangan sampai buat kamu trauma ya, El." Umi berkata dengan wajah khawatir.
Sembari mengaduk-aduk mi yang sudah bercampur dengan telur dan potongan sawi di dalam panci, Elnara kembali teringat dengan ajakan Al untuk menikah. Haruskah ia memberi tahu sang umi? Ah, tidak! Elnara belum ada niatan untuk menerima Al. Jadi, orang tuanya tidak boleh tahu. Bukankah ia juga sudah menolak ajakan Al?
"Enggak trauma, Umi. El cuma butuh waktu." Elnara berusaha terlihat setenang mungkin karena tidak ingin membuat uminya khawatir.
"Kalau ada lagi laki-laki yang ingin mengajak kamu nikah, jangan ditolak, ya, El."
"Yakin, Umi enggak akan kesepian kalau El nikah nanti?" tanya Elnara menggoda sang umi.
Dua mangkuk mi instan rebus sudah siap santap. Elnara menyodorkan satu mangkuk untuk sang umi dan meletakkan miliknya di atas meja ruang bersantai.
"Kesepian itu udah pasti, tapi satu yang harus diyakini, itu adalah salah satu fase kehidupan yang harus umi jalani. Jadi, kamu enggak perlu khawatir soal itu." Umi mengaduk-aduk mi instan miliknya hingga asapnya mengepul ke atas. Begitu mengundang selera untuk disantap. Apalagi malam-malam begitu.
Elnara pun melakukan hal yang sama agar mi miliknya cepat dingin. Sembari otaknya terus berkelana menjelajahi setiap keresahan yang sedang ia hadapi.
"Mi, menurut Umi, poligami itu gimana?" tanya Elnara tanpa sadar. Sejak tadi hal itulah yang sangat mengganggu pikirannya walaupun ia sudah menolak Al dengan tegas.
Terdengar umi langsung terbatuk-batuk. Elnara dengan sigap langsung mengambilkan air putih untuk sang umi.
"Pelan-pelan makannya, Umi." Elnara berkata khawatir.
"Kamu kenapa tiba-tiba jadi bahas poligami, sih? Umi kan jadi syok," ujar sang umi setelah berhasil menguasai rasa tersedaknya.
"Kan El cuma nanya, loh, Umi. Udah kayak El yang mau poligami aja," gerutu El seraya menyuap mi ke dalam mulutnya. Namun, beberapa detik kemudian ia meringis kepanasan. Rupanya masih panas. Ia pikir karena sudah diaduk-aduk sejak tadi, minya sudah dingin.
"Hush, jangan bilang mau poligami. Nanti jadi doa dan jadi kenyataan," ujar umi tegas.
"Ih, El juga enggak mau. Walaupun diperbolehkan dalam agama, tetapi jika tidak ada alasan syar'i dalam pelaksanaannya, berat pertanggungjawabannya, Umi."
"Itu kamu sudah paham, El."
"Ya, kan, El cuma mau tahu pandangan dari Umi bagaimana."
"Harus ada banyak pertimbangan jika memutuskan poligami. Yang jelas harus dipersiapkan adalah keikhlasan hati untuk berbagi. Itu yang sulit dilakukan oleh kebanyakan wanita karena nalurinya wanita itu selalu ingin jadi satu-satunya. Oleh karena sulitnya menjalankan keikhlasan itu, maka balasan bagi siapa saja yang bisa melakukannya adalah surga. Dengan catatan seperti yang kamu bilang tadi. Ada alasan syar'i yang mendasarinya."
"Bagaimana jika alasannya tidak syar'i, Umi?" tanya Elnara lagi.
"Maka itu ranahnya urusan Allah dengan pelakunya. Manusia lain tidak berhak untuk menghakimi."
"Kira-kira apa yang menjadi alasan seorang laki-laki untuk beristri lagi?"
"Bisa jadi alasan keturunan. Mungkin sang istri tidak bisa memberi keturunan atau mandul. Bisa juga karena penyakit, semisal seorang istri tidak bisa menjalankan tugas utamanya sebagai istri untuk melayani suami karena mengidap sebuah penyakit serius. Ada juga loh, seorang istri yang mengizinkan suaminya berpoligami agar bisa berbagi tugas dalam urusan rumah tangga." Umi menjelaskan dengan sabar.
"Tapi, jika kondisi istri pertamanya baik, bahkan mendekati sempurna, gimana itu Umi?" tanya Elnara lagi. Tak dipedulikannya lagi mi instan buatannya yang sudah mulai kehilangan asap mengepulnya.
"Mungkin ada alasan syar'i yang lain. Pokoknya kita tidak boleh menghakimi apapun keputusan orang lain."
Elnara mengangguk-anggukkan kepala.
"Ayo dimakan minya. Nanti dingin enggak enak lagi." Sang umi mengakhiri pembicaraan mereka tentang poligami malam itu.
Sekembalinya Elnara ke kamar setelah menemani umi menunggui abi pulang, gadis itu merutuki perbuatannya.
Kenapa juga ia jadi kepo masalah poligami? Memangnya ia mau menerima Al? Bukankah sudah ia tolak?
Elnara menghempaskan tubuhnya ke kasur, lalu menutupi kepalanya dengan bantal. Ia berteriak untuk sekadar melepaskan sensasi tidak enak pada perasaannya. Berharap bayangan Al segera menghilang dari angan-angannya.
🏮🌟🏮
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
Roman d'amourElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...