🏮#39: Kesempatan Terakhir🏮

16 3 1
                                    

Al masuk ke ruang kerja tim humas tanpa mengetuk terlebih dahulu. Sementara Elnara yang sedang membereskan barang-barangnya, langsung terkejut melihat kemunculan Al di sana.

"El, bisa ngomong sebentar, enggak?" tanya Al tanpa basa-basi.

"Masalah apa?" tanya Elnara seraya menunduk. Matanya sudah menangkap sebuah amplop yang sedang dipegang oleh Al. Mungkin Salman yang memberi tahu Al tentang pengunduran dirinya.

Al tampak menghela napas baru meletakkan amplop yang ia pegang itu ke meja Elnara. Gadis itu mengerjap, berusaha untuk tetap tenang.

"Mau bicarakan apalagi, Mas? Semuanya sudah jelas tertulis di sana." Elnara melanjutkan kembali aktivitasnya.

Fio yang juga ada di ruangan itu beringsut ingin pergi. Ia rasa mereka butuh mengobrol berdua saja.

"Kamu mau melarikan diri?" tuduh Al. Namun, Elnara berusaha untuk tidak peduli.

"Fi, bisa enggak temenin aku di sini? Aku enggak mau ngobrol berdua aja sama laki-laki yang bukan mahram aku. Nanti takut ada fitnah yang muncul," cegah Elnara yang bisa melihat Fio menuju pintu dari ujung matanya.

"Saya salah, El. Tapi, apakah enggak ada maaf untuk saya?" tanya Al dengan mata berkaca. Ia tak memedulikan lagi apakah Fio masih berada di sana atau tidak.

"Saya udah maafin Mas Al dan Fio. Tapi, untuk lupain semuanya, maaf, Mas. Saya belum bisa." Elnara berkata tegas.

"Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki keadaan?" Al sudah putus asa.

"Untuk sementara, enggak ada, Mas. Biarkan semuanya mengalir apa adanya."

"Lalu kesempatan terakhir itu gimana, El? Jika kamu menolak saya kali ini, mungkin setelahnya saya akan berhenti."

"Berhentilah, Mas. Itu hak Mas Al. Lagipula bukankah Mas Al sudah punya calon yang lebih baik dari saya? Tidak ada salahnya menuruti perintah orang tua." Elnara berkata lirih.

"Maksud kamu apa, El?" tanya Al terkejut dengan pernyataan Elnara itu. Beberapa saat kemudian, Al baru menyadarinya.

"Lupakan saya, Mas."

"Kamu mendengar obrolan saya dengan Papa?" tanya Al tak percaya.

"Enggak penting, Mas."

"Denger dulu, El. Saya bahkan belum menyetujui usulan Papa. Lagipula itu cuma usulan aja. Keputusan tetap di tangan saya. Kamu jangan salah paham." Al berusaha menjelaskan. Namun, Elnara tetap pada pendiriannya. Kini semua barangnya sudah selesai ia rapikan.

"Enggak ada yang perlu disalahpahami dan enggak ada yang perlu dijelaskan juga."

"El," panggil Al dengan mata penuh harap.

"Maaf, Mas." Elnara bergegas pergi sembari membawa barang-barang miliknya.

Rencananya ia akan berpamitan juga dengan Aisha dan Zahira di yayasan. Dengan Fio ia sudah berpamitan ala kadarnya tadi. Temannya itu pun tidak memaksa Elnara. Ia menghormati keputusannya untuk pergi menjauh. Mungkin karena masih merasa bersalah juga.

Mata Al sudah berkaca-kaca. Tangannya terkepal kuat, merasa kecewa pada dirinya sendiri karena gagal meyakinkan Elnara. Kini, kesempatan terakhirnya pun sudah tak tergapai.

"Mas, Al. Sabar, ya. El kayaknya butuh waktu. Aku tahu betul siapa El. Sekali ada orang yang meremehkan kemampuan dia, ya, gitu." Fio berusaha menghibur.

"Emang aku ngeremehin dia ya, Fi?" tanya Al bingung.

"Dia menganggap dirinya diterima di HSG bukan karena kemampuannya, tapi karena Mas Al ada rasa sama dia. Untuk seorang El, itu melukai harga dirinya, Mas."

InevitableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang