Belum pernah langkahnya terasa seberat ini untuk bekerja. Elnara datang pagi-pagi seperti biasa, tetapi tingkah lakunya tidak seperti biasa. Beberapa kali ia celingukan sebelum memasuki gedung studio. Begitu juga ketika akan memasuki ruang kerjanya. Ia seperti memastikan tidak ada orang yang ingin dihindarinya.
Embusan napas lega segera meluncur dari organ pernapasannya tatkala berhasil tiba di ruang kerjanya dengan selamat. Bekal makanan sudah ia bawa di tas ranselnya. Hari ini sepertinya ia tidak akan keluar ruangan kecuali untuk ke kamar kecil.
Semoga saja tidak ada kegiatan lapangan hari itu.
"Pagi, El!" sapa Fio yang baru saja tiba.
Elnara berjengit kaget seperti baru saja mendapat lemparan bom waktu yang akan meledak. Pasalnya Elnara sedang berada dalam mode waspada yang maksimal saat itu.
"Fio!" pekik Elnara dengan nada yang cukup tinggi untuk mengekspresikan rasa terkejutnya.
"Gitu banget, sih? Aku kan cuma nyapa," protes Fio yang merasa heran dengan respons berlebihan Elnara.
"Kaget, tahu! Ucap salam dulu, kek. Intonasinya kecilin gitu biar orang enggak kaget," gerutu Elnara seraya memegangi dadanya. Nyaris saja organ berdenyutnya itu hendak copot.
"Yang namanya mengawali pagi itu harus dengan penuh semangat!" Fio membela diri. "Apalagi kita ada agenda lapangan hari ini."
"Apa?" tanya Elnara syok. Agenda lapangan itu di luar ekspektasinya.
"Kamu lupa, agenda terdekat kita adalah kerjasama dengan salah satu kampus di Jatinangor dalam sebuah acara bedah buku. Kita jadi media patnernya."
Elnara segera membuka buku agendanya. Segala urusan pekerjaan ia tuliskan semua di sana. Benar saja. Hari itu mereka akan survei tempatnya dan melakukan koordinasi dengan panitia acara.
"Halo, tim!" Suara Mas Hasan menggema di ruangan itu. Enerjik seperti biasa agar timnya bekerja dengan semangat hari itu.
"Halo, Mas," sapa Fio tak kalah bersemangat.
"Hari ini kita ada agenda lapangan. Kalian siap-siap, ya," ujarnya lagi seraya meletakkan tas kerjanya di atas meja.
"Siap, Mas!" Lagi-lagi Fio yang menyahut. Sementara Elnara masih bungkam.
"Kalian pergi sama Mas Al nanti, ya."
Untuk kedua kalinya Elnara seperti dilempar bom waktu yang siap meledak. Kenapa harus dengan pria itu? Sejak kapan pria itu juga merangkap jadi humas dan penyelenggara even yang harus sampai turun tangan langsung untuk survei lapangan?
"Kenapa enggak sama Mas Hasan?" tanya Fio lagi.
"Ini proyeknya Mas Al. Kerjasama dengan temennya yang ada di penerbitan buku dan manajemen kampus. Untuk mempermudah koordinasi, Mas Al sendiri yang berkoordinasi sama mereka. Sementara tugas kalian adalah memastikan tempat dan konsep acaranya seperti apa. Nanti sore waktu rapat evaluasi, kita diskusikan format apa yang cocok ketika acara itu disiarkan di radio kita."
Elnara menatap Fio yang tampak bersemangat itu. Berpikir alasan apa yang bisa ia gunakan untuk menghindari kegiatan lapangan kali ini. Ia tidak ingin bertemu Al dulu setelah penolakan itu. Apalagi setelah pikiran liarnya tadi malam yang dengan lancang membayangkan dirinya menjadi istri kedua Al. Elnara sungguh malu dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba perut Elnara terasa mulas. Lalu terpikirkan sebuah ide untuk menjadikan hal itu sebagai alasan untuk mangkir dari tugas.
🏮🌟🏮
Nyatanya Elnara berada di mobil itu bersama Al dan Fio. Tidak jadi merealisasikan idenya saat mulas di perut melanda tadi. Dipikir-pikir lagi, kenapa Elnara harus menghindar? Bukankah menolak atau tidak itu haknya? Lagipula, Al juga bersikap biasa saja ketika mereka bertemu. Seolah tidak pernah terjadi obrolan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...