Seharusnya jadwal mereka hari itu adalah survei lapangan. Melihat lokasi yang sudah mereka pilih dalam rapat terbatas tadi pagi. Ada sekitar tiga tempat yang harus mereka kunjungi hari itu.
Namun, tiba-tiba ketika hari menjelang siang dan dalam hitungan jam mereka harus berangkat, Mas Hasan mendapat kabar jika ibunya yang berada di Tasikmalaya masuk rumah sakit. Dengan alasan Mas Hasanlah anaknya yang terdekat, maka ia pun pamit untuk pulang kampung. Sementara Mbak Ivy masih harus menjemput anak mereka di sekolah dan bertemu beberapa klien yang mengajukan proposal kerjasama.
Alhasil, Fio dan Elnara kebingungan karena hanya mereka tim yang tersisa. Sementara mereka secepatnya harus membuat laporan untuk tempat ini ke pimpinan yang rapat koordinasinya akan digelar besok. Tidak ada waktu lagi untuk menggeser jadwal.
"Kalau kita naik angkutan umum aja, gimana?" tanya Elnara mengajukan usul.
"Serius kamu dari Bandung ujung ke ujung satunya lagi naik angkot? Bisa sampai sore kita. Terus kamu pulangnya gimana? Masih ada bus kalau malem?" tanya Fio yang merasa bahwa ide Elnara itu tidak bisa dibilang baik.
"Iya juga," gumam Elnara kemudian berpikir lagi.
"Apa bagi tugas aja. Kamu ke tempat satu, aku ke tempat dua yang berlawanan arah?"
"Emang kamu tau rute-rute angkotnya?" tanya Elnara ragu. Fio itu buta arah. Bahkan ketika awal-awal di kampus saja ia sering tersasar ke fakultas lain.
"Ampun, deh. Aku paling enggak bisa kalau disuruh inget rute."
Kedua gadis itu menghela napas lagi. Naik motor berdua juga bukan ide bagus karena Elnara tidak bisa naik motor dan Fio tidak bisa membonceng. Katanya seketika dunia menjadi oleng.
Di tengah rasa keputusasaan kedua gadis itu, Al lewat di balik jendela. Pemuda itu baru saja tiba di studio. Seketika Fio tersenyum cerah seperti mendapatkan ide cemerlang. Gadis itu pun bergegas menghampiri Al di depan pintu kaca depan studio.
"Mas Al!" pekik Fio dengan gembira. Seolah baru saja menemukan super hero-nya.
Sempat terlihat ekspresi terkejut di wajah Al, tetapi pria muda itu bisa segera menguasai dirinya. Tidak lantas menjadi latah karena dibuat terkejut.
"Kenapa, Fi? Ngagetin aja," ujarnya seraya menutup pintu kembali.
Elnara yang masih merasa malu karena kejadian kodok tempo hari memilih untuk menjaga jarak. Ia tidak ikut menghampiri Al. Malahan kalau bisa ia ingin bersembunyi saja entah di mana.
"Mas Al ada jadwal siaran selain sore enggak?" tanya Fio dengan mode rayuan mautnya.
Elnara yang bisa membaca ke mana arah maksud dan tujuan temannya itu langsung mendelik kaget.
"Ada, sih. Gantiin Mas Panji siaran jam sembilan malem karena malem ini ada acara keluarga, lamaran adiknya," jawab Al seraya membenahi letak tas ranselnya yang mulai melorot.
"Anterin kita bisa enggak?"
"Ke mana?"
"Survei lapangan."
Al tampak berpikir. Ia pun menyadari presensi Elnara di sana. Seketika gadis itu langsung mengalihkan pandangannya ke mana saja karena malu saat bertemu tatap dengan Al.
"Berdua?" tanya Al lagi.
"Iya. Aku sama El. Mas Hasannya kan pulang ke Tasik. Mbak Ivy masih ada rapat sama klien gantiin Mas Hasan. Yakin deh, sebelum jam empat kita dah sampai ke studio biar Mas Al enggak ketinggalan jam siaran." Fio terus membujuk.
Diam-diam Elnara berdoa dalam hati agar Al menolak permintaan tolong Fio. Akan terasa canggung jika mereka berada dalam satu mobil. Namun, doa Elnara sepertinya tidak terkabul ketika ia mendengar Al menyetujui permintaan Fio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
RomanceElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...