Berbagai jenis makanan pendamping untuk soto sudah terhidang di meja. Sejak pagi Elnara sudah sibuk membantu umi memasak di dapur. Sementara abi masih beristirahat karena baru tiba di rumah tadi subuh usai menghadiri sebuah seminar di luar kota.
"El, coba kamu tanya Mas Farel. Sekarang mereka sudah sampai di mana? Kalau sudah dekat, kamu panaskan lagi kuah sotonya," ujar umi yang masih sibuk menyuwir-nyuwir ayam goreng sebagai pelengkap soto.
"Katanya sudah sampai di pintu tol Cileunyi," jawab Elnara sambil menata piring di atas meja
"Ya Allah, El. Itu mah udah deket. Cepet kamu panasin lagi kuah sotonya, terus bantu umi keluarin irisan kubisnya dari kulkas. Lontong udah kamu potong-potong belum?" Umi terlihat panik.
"Udah, Umi." Elnara segera menyalakan kompor yang di atasnya sudah ada sepanci kuah soto buatan umi beberapa jam lalu.
"Aduh, apa lagi yang kurang, ya? Es sirupnya udah, El?"
"Tinggal kasih es batu aja, Umi."
"Kamu kok nyantai banget, sih? Sebentar lagi calon suami kamu dateng. Rapihin sedikit pakaian kamu. Jangan meninggalkan kesan yang buruk sebagai muslimah."
"El sama Mas Haris itu baru mau mulai ta'aruf, Umi. Belum tentu juga jadi, walaupun dengan El terima ajakan ta'aruf artinya sudah 90 persen kami selangkah lebih maju. Tapi, tetep ada faktor 10 persen yang membuat proses ini bisa aja gagal." Elnara berkata seraya meletakkan satu wadah besar potongan kubis yang baru ia keluarkan dari kulkas.
"Kamu memang enggak ada rasa sama sekali sama Haris, El?" tanya umi seraya menatap putri bungsunya itu keheranan.
"Rasa sih, pasti ada. El udah tahu Mas Haris dari pertama kali Mas Farel bawa dia ke sini. Waktu mereka masih pakai seragam putih abu-abu. Dari jamannya Mas Farel masih begajulan sampe sekarang udah jadi agak soleh dikit. El tahu Mas Haris itu tipe orang yang seperti apa. Tapi, untuk menikah bukannya banyak hal yang harus dipertimbangkan, ya, Mi? Enggak cukup cuma bermodal suka atau sudah kenal bertahun-tahun."
Sang ibu menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Elnara dengan mata berkaca.
"Umi enggak menyangka, El yang dulu umi gendong-gendong, sekarang udah bisa berpikir dewasa."
"Umi, bisaan aja mujinya. Awas nanti El melayang ke langit terus enggak balik lagi."
"Hush, kalau enggak balik lagi, terus kamu pergi ke mana?"
Elnara tertawa. Tepat ketika itu terdengar ketukan dan ucapan salam dari pintu depan.
"Mereka udah dateng." Umi segera bergegas membukakan pintu. Sementara Elnara menyusul di belakang.
Begitu pintu terbuka, Farel langsung menghambur ke pelukan umi. Dasar anak kesayangan umi, batin Elnara geli. Sudah hampir kepala tiga, tetapi manjanya masih belum hilang.
"Umi sehat, kan?" tanya Farel seraya melepas pelukannya lalu menatap umi dengan saksama dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Sehat, dong!" Wanita paruh baya itu tertawa renyah.
Selanjutnya mereka mengobrol entah apa seraya masuk ke ruang tamu. Elnara yang berjalan paling belakang, secara tidak sengaja mengamati kedua lelaki yang berjalan di depannya itu.
Diam-diam ia membandingkan Farel dan Haris. Keduanya begitu kontras jika berdampingan begitu. Haris orangnya sangat rapi. Bisa terlihat dari pakaian yang dikenakannya. Kemeja dan celananya licin tersetrika dengan baik, bahkan garis bekas setrikanya masih ada walaupun sudah dipakai.
Beda sekali dengan Farel yang hanya menggunakan sweater lusuh. Elnara tebak pasti sudah beberapa kali ia pakai tanpa dicuci. Sementara celana gunung yang ujungnya terlipat milik Farel, boro-boro ada garis bekas setrika. Yang ada justru noda hasil cipratan tanah becek, seperti habis dari sawah. Padahal katanya mereka langsung berangkat dari Jakarta, tidak mampir ke mana-mana dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable
Roman d'amourElnara Faiza baru saja menyelesaikan kuliahnya ketika ada seorang pria yang datang melamar. Seorang pria yang sejak SMA ia kagumi secara diam-diam, teman baik kakaknya sendiri. Di antara ketidakpercayaan akan semuanya begitu mudah ia dapatkan, tiba...