"And when the night ends, the wind blows with happiness—tickling the place it shouldn't have touched."
***
Mobil berwarna hitam itu membelah pulau dewata dengan kecepatan yang cukup tinggi. Satya yang duduk di kursi penumpang diam, memandangi kemilau lampu yang indah dari balik kaca mobil. Sesekali ia berdecak ketika merasakan getaran yang terus menerus berlangsung meski sudah diabaikan berulang kali.
Dari rear-mirror, Pak Anton–sopirnya– entah sudah berapa kali meliriknya diam-diam. Upayanya jelas sia-sia karena Satya mengetahui bahwa dirinya diamati tanpa memerlukan mata ketika.
"Dari tadi saya lihat Pak Anton lirik-lirik saya terus. Ada yang perlu disampaikan?"
Pak Anton berdeham, "Maaf Pak."
"Jadi?"
Pria yang sudah menjadi sopirnya sejak beberapa tahun silam itu terlihat enggan, namun di bawah tatapan tajamnya Pak Anto akhirnya membuka suara.
"Bu Athala sejak pagi tadi menanyakan Pak Satya. Beliau mengancam akan memenuhi jadwal Bapak dengan puluhan acara kencan. Selain itu, Bu Dianne sempat menanyakan hal serupa."
"Pak Anton jawab apa?"
"Saya jawab sesuai instruksi Pak Satya kalau Bapak sedang di Bali untuk memastikan kontrak kerja dengan Alexander Grey." Pak Anton menjeda sesaat, meneliti air muka Satya sebelum melanjutkan, "Untuk sekarang keduanya 'sih terlihat percaya."
"Okay, terima kasih, Pak. Selanjutnya, abaikan saja kalau mereka menelpon. Nanti saya yang langsung melaporkan keberadaan saya."
"Satu lagi, Pak. Bu Athala minta untuk ditelepon hari ini."
Tanpa diinfokan seperti ini pun, Satya tahun akan hal itu. Mamanya lah penyebab getaran tanpa henti pada saku celananya. Entah omelan apa yang sudah disiapkan untuknya. Menyerah, akhirnya Satya meraih ponselnya dan menjadi seorang anak penurut dengan memberikan panggilan kepada orang tuanya.
"Mas Satya! Ya Tuhan, kamu ini!" panggilan tersebut dimulai dengan nada yang sangat kesal. "Kamu ini udah lupa punya orang tua, ya? Mama itu bukan dukun yang bisa tahu keadaan kamu dengan menerawang jadi kamu harus kabarin Mama terus, Mas. Kalau ada apa-apa biar kita nggak syok."
"Hmm, I miss you too, Ma."
"Jangan gombal. Mama masih marah."
Satya membenarkan posisi duduknya, menyandarkan punggung dengan nyaman. "Jadi, Mama ancam Pak Anto karena apa?" tanyanya to the point.
"Benar-benar, ya, kamu!" Athala mengeram disebelah sana. "Kamu belum pulang lebih satu bulan, Sat. Mama dengan dari Kenan, kamu itu nggak sesibuk biasanya tapi kelakuannya seperti orang sibuk yang ngalah-ngalahin kepala negara. I believe all your projects have progressed well over the past few months. Based on that alone, your schedule should not be as packed as you claimed. Eyang even asked about you. Do you see how serious this situation is?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terlarang
RomanceKalingga #1 Gianna Anastasya adalang sang bunga terlarang. Sang bunga indah nan menawan yang seharusnya hanya dipuja, dilihat dan didamba dalam diam. Sayangnya, terdorong oleh obsesi, Prasatya berubah dari seorang pengagum menjadi sang pemetik. Di...