"Two fools in love."
***
Suasana saat ini begitu menyesakkan, bahkan hampir menyerupai ketika mereka bertemu pertama kali. Satya dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca, dan dirinya sendiri yang diselimuti kabut bernama takut.
Gianna memainkan jari-jarinya sembari sesekali melirik Satya yang duduk tepat di hadapannya. Bekas luka sang kekasih selalu berhasil menarik atensinya untuk bertanya namun kerap urung karena merasa ia belum diizinkan untuk berbicara.
"Tadi dari bandara langsung ke apart Ganesh?" Satya mengambil segelas cokelat panas, lalu meletakkan di samping Gianna. "Nggak capek?" Ia kemudian mengitari kitchen island, duduk dengan jarak yang membentang dengan Gianna.
"Iya. Harusnya tadi langsung ketemu Mas Satya, tapi Ganesh mendadak minta untuk bertemu jadi aku ke sana." Gianna meneliti lagi ekspresi Satya yang sialnya masih belum berubah. "Lagipula aku tahu Mas Satya pasti masih di kantor jadi aku putuskan menemui Ganesh untuk efesiensi waktu."
"Kamu, 'kan, bisa menelpon," tutur Satya lalu menggeleng. "We don't need to talk about that. It's not important. Tadi sama Ganesh sudah makan atau belum?"
"Belum, tapi aku nggak lapar, kok. Kita bisa bicara dulu—"
"Kita makan dulu, ya. Tadi Mas sudah sempat pesan sate kesukaan kamu."
Satya kembali berdiri, meninggalkan Gianna untuk mengambil pesanannya yang dititip langsung ke Pak Anton.
Ketika ia kembali, Gianna masih tetap pada posisinya. Terlalu kaku dan waspada hingga membuat Satya menghembuskan napas berat.
Satya meletakkan makanan mereka, memastikan makanan Gianna tidak tercampur apapun yang bisa membuat sang kekasih merintih karena pedas.
"Makan dulu, Na. Setelah itu kita baru bicara."
Meski masih penuh tanya, Gianna menurut. Ia terus menyantap sate yang begitu nikmat itu tanpa semangat, padahal normalnya pasti ia sudah bersenandung ria sambil mengunyah.
Keheningan yang melingkupi mereka sangat tidak nyaman. Satya tahu itu, pun Gianna. Mereka menghabiskan lima belas menit yang begitu panjang hanya dalam diam. Tak ada pembicaraan kecil seolah-olah mereka sendiri sedang berusaha agar tidak menginjak ranjau.
Ketika tusuk sate terakhir telah dimakan habis oleh Satya, jantung Gianna terasa seperti akan melompat meninggalkan tubuhnya. Ia menarik gelas, menegak air putih bagai orang yang kehausan untuk menutupi gugupnya. Entahlah, tetapi kali ini rasanya pembicaraan yang akan mereka lakukan bisa menjadi pengakhir dari segalanya.
Gianna takut sekali akan hal itu. Jika bisa menangis, maka akan dilakukan sekarang juga. Tetapi bahkan untuk hal itu ia tidak punya keberanian. For whatever reason, it feels like she has no right to cry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terlarang
RomansaKalingga #1 Gianna Anastasya adalang sang bunga terlarang. Sang bunga indah nan menawan yang seharusnya hanya dipuja, dilihat dan didamba dalam diam. Sayangnya, terdorong oleh obsesi, Prasatya berubah dari seorang pengagum menjadi sang pemetik. Di...