02. Tentang Dia

154 12 1
                                    




Tak terasa satu bulan telah berlalu, aku berada di kelas 11 ini. Bersama teman-teman yang baru dan guru yang baru, juga pelajaran menyulitkan yang baru.

Seperti saat ini aku hanya menahan kantuk di jam pelajaran siang hari saat guru sejarah sibuk menjelaskan pelajaran tentang perang dunia pertama.

Walaupun sudah satu bulan, aku masih belum bisa menghafal semua nama-nama teman sekelasku. Payah memang, tapi mengejutkan karena aku ditunjuk sebagai sekretaris kelas hanya karena tulisanku yang katanya bagus dan rapi. Alasan klasik yang memuakkan.

Aku menoleh ke arah Esa yang tertidur di sampingku dengan wajahnya yang ditutupi dengan buku.



Ngomong-ngomong soal siswa laki-laki pemilik tas yang sempat bergandengan dengan gelangku, aku sudah mengetahui namanya.

Namanya Vian Grandea, panggilannya Vian. Setiap siswa-siswi kelas ini diabsen, pasti setelah namanya adalah namaku. Jadi, untuk bersiap saat namaku dipanggil pasti nama itu yang kujadikan sebagai pertanda.

Dia duduk di meja paling belakang bersama teman sebangku yang sialnya adalah orang yang ingin ku hindari.

Jadi, Vian duduk dengan siswa bernama Elvin. Elvin ini sebelumnya pernah terang-terangan menunjukkan ketertarikannya kepadaku saat kami berada pada kelas yang sama di kelas sepuluh.



Dugaanku ternyata tidak benar, sebelumnya kukira Vian adalah laki-laki cuek dan tak suka jika berhubungan dengan perempuan. Seperti saat dia meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah katapun pada pertemuan pertama kami.

Tapi setelah satu bulan aku mengamatinya,..

Jangan salah paham dulu, aku mengamatinya hanya karena penasaran. Iya, penasaran, itu saja. Dan semoga hanya sampai itu saja.

Dia bukanlah murid budiman, maksudku dia siswa dengan tampang berandal. Bisa di lihat dari penampilannya yang urakan. Baju dikeluarkan dengan dua kancing teratas seragamnya yang sering terbuka, terkadang saat tidak ada guru di kelas dia hanya memakai kaos dan tidur di lantai kelas. Tak memakai dasi, dan rambutnya yang tak pernah tertata rapi namun terlihat tebal, lembut, dan berkilau.

Selain itu, dia juga play boy, kenapa aku bisa bilang seperti itu. Contohnya, dia suka menggoda dan menggombali para siswi cantik di kelas ini. Dengan wajahnya yang tampan serta rayuan mautnya itu membuat semua perempuan seketika dengan mudah jatuh dalam pesonanya.

Tak terkecuali aku, yang mungkin sedikit tertarik. Hanya sedikit!

Semoga saja seperti itu, aku tak ingin menyukainya, bahkan mencintainya.

Aku tak ingin sakit hati jika sudah terlanjur menyukai seseorang yang disukai oleh banyak orang.

Aku sudah menyerah jika harus bersaing, berjuang untuk mendapatkannya.

Tapi siapa yang bisa menghentikan hati untuk jatuh cinta?

Apalagi orang itu setiap hari bertemu denganmu dan dia selalu berhasil menarik atensimu untuk menatap penuh tingkah nakalnya itu.









“Azhira” panggilan itu membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya?” aku menatap Esa yang juga menatapku.

Bola matanya seolah menunjukkan seseorang yang memanggilku. Aku mendongak dan melihat bahwa guru perempuan itu sudah berdiri berkacak pinggang di depan ku sambil menatapku tajam.

Aku tersenyum canggung sambil melihat tatapan sekeliling yang tertuju lurus kearahku.

Aku mencubit paha Esa di bawah meja yang membuatnya menepis kasar tanganku.

“Anj,..” umpatku dalam hati karena merasa kesal.

“Azhira, kamu mendengar penjelasan saya atau tidak?”

“Dengar bu” ucapku pelan.

“Apa? Sekarang coba jelaskan dengan bahasamu sendiri” guru itu melipat tangannya di depan dada.







“Mampus”









HIRA IN ELEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang