***
Hari ini adalah hari terakhir ujian. Aku sangat senang tentunya karena bebanku berkurang.
Tapi ini juga hari terakhir di mana aku bisa dekat dan duduk bersama Vian.
Cukup menyedihkan.Selama duduk dengannya, aku menyadari suatu hal. Yaitu perasaanku yang semakin besar.
Walaupun sepanjang waktu yang kulakukan hanya menatapnya diam-diam, itu sudah cukup dari apapun. Aku tak meminta lebih, aku hanya ingin bisa melihat wajah itu.
Sekarang, besok, lusa, dan seterusnya.
Namun pagi ini, bel masuk sudah berbunyi dan dia belum ada di sampingku. Aku semakin khawatir karena guru pengawas sudah masuk ke dalam ruangan.
Aku melihat ke luar jendela namun tak ada tanda-tanda kemunculannya.
Di manakah dia? Apa dia baik-baik saja?
Ujian sudah berlangsung sekitar sepuluh menit, dan saat itu terdengar langkah tergesa dari arah pintu. Tampak seorang yang ku tunggu berjalan ke dalam kelas menghampiri pengawas ujian di depan sana.
Aku melihatnya yang mulai berjalan mendekat ke meja kami. Semakin dekat aku dapat melihat dengan jelas dia tidak baik-baik saja. Terlihat dari rambutnya yang biasa lembut dan rapi kini sedikit berantakan, juga kedua matanya yang sedikit memerah membuatku khawatir.
Vian duduk begitu saja lalu menunduk untuk mencari bolpoin yang memang ia tinggalkan di laci meja. Sepekan ini aku memang tahu dia selalu melakukan hal itu dan tak lagi membawa tas saat ujian.
Aku menoleh dengan cepat saat terdengar bunyi benturan di bawah meja. Dia mendongak dan tersenyum menampilkan giginya padaku.
“Maaf, boleh pinjem bolpoin?”
Aku melihatnya heran, pasalnya yang di pegang di tangan kanannya saat ini juga bolpoin.“Bolpoin lo tintanya abis?” tanyaku membuatnya menatap tangan kanannya.
Dia tampak mencoret asal di lembar jawabannya pada soal pilihan ganda.
“Gak deh, masih ada”
Dia kembali tersenyum membuatku heran.Tak masalah, yang penting dia sudah ada di sini. Aku bisa mengerjakan ujianku dengan tenang.
Menit demi menit berlalu, ketika aku tengah pusing memikirkan jawaban dari soal ujian ini, mataku tak sengaja menatap orang di sampingku.
Dan yang kudapati adalah dia tertidur menghadap ke arahku dengan menjadikan lipatan tangannya sebagai bantal.
Aku menumpu dagu dengan telapak tangan sambil menatap wajahnya yang terlelap.
Vian tampan.
Oke, aku sudah menyadarinya sejak lama, tapi entah mengapa sekarang tampak berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya.Di saat aku sibuk menatapnya dengan penuh hikmat, tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.
Segera aku mengalihkan pandanganku pada kertas ujianku. Seolah menyibukkan diri menjawab soal-soalnya.
“Waktu ujian tinggal sepuluh menit lagi. Tolong di cek kembali identitas dirinya”
Ucap pengawas itu.Aku melirik Vian yang tampak panik.
Sedetik setelahnya dia menoleh ke arahku membuatku menaikkan alisku.“Hira gue boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
Dia menunjukkan kertas ujiannya yang masih terjawab beberapa. Karena merasa kasihan dan waktu ujian tinggal beberapa menit lagi, aku pun membagi jawabanku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRA IN ELEVEN
Novela Juvenil"Eh An, dia katanya suka sama lo" Elvin "Eh, gausah cepu anjir" Hira "Ngomong apaan sih, dasar gajelas" Vian Karena pada dasarnya, baik Aku, Elvin maupun Vian. Kami bertiga tak seharusnya terjebak dalam hubungan rumit ini.