27. Menyadarkan Hira

119 11 5
                                    

“Kenapa? Takut? Makanya, nurut!” Orang itu merangkul bahuku dan memaksaku berdiri dari motorku. Aku hanya bisa pasrah mengikuti sambil mencari cara meloloskan diri.

Mereka membawaku berjalan entah kemana. Namun satu hal yang aku sadari mereka sedang dalam keadaan tak sadar, atau dalam pengaruh minuman. Mengetahui kondisi ini aku berusaha berpikir dengan keras untuk mencari kesempatan meloloskan diri.

“Bentar” ucapku menahan langkahku.

“Ada apa?”

“Kaki gue sakit” ucapku sambil menunduk menatap kakiku. Mereka semua ikut menatap kakiku.
Orang yang merangkul tadi pun melepas rangkulannya dan berjongkok untuk melihat kakiku yang telanjang tanpa alas kaki.

“Gue pengen pakai sandal” pintaku.

“Yaudah, lo beliin dia sandal” orang itu tampak menyuruh temannya.

“Gue ikut ya, mau milih sendiri sandalnya” pintaku lagi.

“Oke, lo jaga baik-baik jangan sampai kabur. Kita tunggu di sini”

“Oke siap” jawab temannya itu, kemudian aku berjalan pergi dengan seorang pemuda itu.

Mereka ini memang gila, dan juga bodoh. Dan aku harus bisa memanfaatkan hal ini.

Di tengah perjalanan saat ia lengah aku tak membuang kesempatan untuk segera berlari dengan kencang. Dengan cepat berusaha kabur dari para orang gila itu.

Namun tak semudah itu, karena orang itu mengejar. Tentu saja aku panik dan mempercepat lariku.

Aku berlari tak tentu arah di trotoar pinggir jalan dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Mencoba menghentikan kendaraan apapun yang lewat untuk meminta bantuan. Sesekali aku pun menoleh ke belakang untuk melihat apakan mereka masih mengejarku.

Tiba tiba seseorang mencekal lenganku. Aku melihatnya terkejut, namun orang itu hanya membuka tudung hoodienya sebentar lalu memakainya lagi. Dia menarikku untuk berlari dengannya. Aku masih bingung namun hanya pasrah mengikutinya. Juga karena memang tak ada pilihan lain, setidaknya aku kenal dengan orang ini kan.

Karena orang di depanku berlari cukup kencang, aku jadi kesulitan untuk menyamakan langkahku dengannya. Apalagi kakiku yang telanjang tanpa alas kaki sesekali terasa sakit ketika menginjak permukaan jalan yang kasar ataupun kerikil kecil yang menyakitkan.

Dan puncaknya ketika tak kuat lagi berjalan, kakiku menapak dengan posisi yang salah sehingga membuatnya terkilir.

“Kak, kak bentar” Aku mencengkram lengannya untuk menahan langkahnya.

“Maaf, kakiku kesleo kak” ucapku meringis sambil membungkuk untuk mengelus pergelangan kaki kiriku.

Kak Rehan menatap ke arah kakiku sambil sesekali melirik ke belakang dengan waspada.

Tak lama satu orang datang mendekat.
“Lo bantuin Haikal sama yang lain, biar gue yang urus ini”

Kak Rehan yang mendengarnya segera berlari ke arah kami datang sebelumnya.

Karena sibuk menatap kepergian orang itu, aku tak sadar ketika orang yang kini bersamaku tiba-tiba menunduk untuk menyelipkan lengan kirinya di belakang lututku kemudian tangan lainnya untuk menahan punggungku. Lalu dengan mudah mengangkat tubuhku.

Karena takut jatuh secara otomatis aku melingkarkan tanganku pada lehernya. Tanpa ekspresi dan hanya diam dia membawaku berjalan dalam gendongannya.

Untung saja itu tak berlangsung lama, ia berhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. Menurunkan tubuhku di depan teras toko. Dia melepas hoodienya dan menyisakan kaos hitam yang ia pakai. Setelahnya aku terkejut ketika ia menyodorkan hoodienya padaku.

HIRA IN ELEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang