18. Dia dan Obatnya

102 7 3
                                    




*
"Berapa mas?"
Tanyaku sambil menyerahkan helm milik tukang ojek tersebut.

"Eh, gausah mbak. Udah dibayarin"

"Oh, makasih mas" Aku tersenyum ramah pada tukang ojek tersebut.



Kenapa aku tidak memiliki pikiran untuk memesan ojek online. Bukankah itu lebih mudah daripada harus terjebak bersama Elvin selama itu.
Dan mendengarkan kata-kata mutiara hitam darinya yang sialnya itu benar?

Kau memang bodoh Hira.



Setelahnya aku membuka pintu pagar rumahku dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di dalam kamar aku langsung melempar tasku di atas kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Memutuskan untuk segera mandi karena aku sudah tak nyaman dengan pakaian yang menempel di tubuhku ini.

Mataku terpejam, berdiri bersandar pada tembok dan membiarkan air shower membasahi tubuhku. Menikmati air dingin itu menguyur tubuhku dari ujung kepala dan mengalir sampai ujung kaki.

Mencoba mendinginkan kepalaku untuk bisa berfikir lebih tenang. Rasanya diriku seperti masih terjebak dalam setiap kalimat yang diucapkan oleh Elvin sebelumnya. Suara Elvin terus terulang, bergema, memenuhi isi kepalaku.

Aku tak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan di bawah shower tersebut. Namun yang pasti, saat ini kepalaku sudah terasa pusing. Tubuhku juga ikut menggigil, jari-jariku mengerut dan tampak pucat. Sehingga kuputuskan untuk menyelesaikan mandiku.

Setelah berganti pakaian berbahan tebal, aku melangkah keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kasurku. Namun di tengah perjalanan, kepalaku terasa berat dan berputar. Hingga tanpa sadar langkahku oleng dan lutut kiriku menabrak salah satu kaki meja di samping pintu kamar mandi kamarku.



Kali ini aku tak bisa lagi mengungkapkan seperti apa rasanya. Pokoknya rasanya berkali-kali lipat lebih sakit dari sebelumnya.
Tubuhku jatuh begitu saja di atas lantai kamarku. Lututku tak bisa untuk kugerakkan, tak bisa ditekuk. Sehingga aku kesulitan untuk bangkit.

Dengan mengerahkan sekuat tenaga, akhirnya aku dapat berdiri dan berusaha mendekat menuju ranjangku. Dengan tanganku yang bertumpu pada benda sekitar, aku menyeret kaki kiriku yang kini tak bisa kugerakkan.

Aku menghembuskan nafas panjang setelah berhasil mendaratkan bokongku di atas kasurku. Menaikkan kaki kananku diikuti kaki kiriku dengan gerakan sangat pelan.

Rintihan terdengar dari mulutku ketika aku kembali mencoba menggerakkan kaki kiriku. Decakan kesal pun keluar.

"Kok jadi gini sih"
Aku merengut sambil memijat pelan paha bawahku.

Aku mendengar suara ponsel berdering dari dalam tasku. Untung saja aku memiliki tangan panjang sehingga dapat meraih tas itu.
"Udah ketebak ciri-ciri orang nyolong nih"
Gumamku pelan.

Aku membuka resleting tasku dan mengambil benda persegi panjang itu. Melihat nama yang tertera di sana membuatku segera mengangkatnya.







"Siapa ya?" tanyaku malas.

"Sok gak kenal lo"

"Lagian, kalau udah seneng-seneng lupa sama teman sendiri" ucapku dengan nada mencibir.

Terdengar suara tawa dari seberang telepon. "Maaf, maklum orangnya sibuk"

Aku diam tak membalas.

"Oh ya, mau oleh-oleh apa?"

"Doyoung Treasure" jawabku asal.

"Emang kita liburan di Korea?"

HIRA IN ELEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang