Good Morning.
Selamat hari senin, hari paling sibuk dan melelahkan dalam satu minggu.
Aku saja sudah harus bangun lebih awal untuk bersiap berangkat pagi ke sekolah. Selain diadakan upacara setiap paginya, sialnya aku juga mendapatkan jadwal piket di hari senin. Sehingga aku harus berangkat pagi-pagi sekali.
“Berangkat dulu bu, Assalamualaikum” ucapku sambil mencium punggung tangannya.
“Waalaikumsallam, hati-hati”
Aku yang sudah duduk di atas jok motor hanya mengangkat tangan dan memberikan tanda OK dengan jari jempol dan telunjukku.
Setelahnya aku mengendarai motorku keluar pagar dan melaju ke arah timur sekitar 300 meter hingga sampai pada jalan raya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit akhirnya aku pun sampai di sekolah. Aku segera memarkirkan kendaraanku dan sempat lupa melepas helm ku. Untung saja aku ingat, jika tidak entah seperti apa rasa malu yang akan ku dapatkan.
Setelah sampai di dalam kelas, hanya ada aku dan Tia si anak pintar di kelasku. Aku hanya tersenyum singkat ke arahnya dan meletakkan tas di kursiku. Kemudian aku berjalan menuju pojok kelas tempat alat kebersihan diletakkan.
Aku mengambil sebuah sapu dan mulai menyapu pada deret meja paling barat yang segaris lurus dengan meja guru.
Detik dan menit mulai berlalu, semakin banyak pula para siswa yang berdatangan memasuki kelas. Beberapa murid yang memiliki jadwal piket sama denganku juga sudah mulai menyapu. Sekarang aku yang sudah selesai menyapu pun hanya duduk bersantai bersama Esa sambil menunggu bel atau pemberitahuan untuk segera ke lapangan.
Dan benar saja, setelah itu terdengar siaran pemberitahuan untuk semua siswa siswi agar segera menuju lapangan upacara. Aku mengambil topi dari tasku dan bergandengan dengan Esa keluar kelas menuju lapangan dengan teman sekelas kami yang lainnya.
Barisan upacara sudah disusun dari paling barat adalah kelas 10,11 dan 12 paling timur. Dengan siswa perempuan yang berada di depan diikuti siswa laki-laki di belakang.
Sudah menjadi kebiasaan aku dan Esa baris paling belakang dekat para siswa laki-laki. Bukan karena caper atau apa, aku bukanlah murid pramuka ataupun paskibra yang bisa betah berdiri tegap selama upacara berlangsung. Oleh karena itu, daripada merusak pemandangan aku lebih dulu sadar dan mundur ke belakang.
“Eh, topi gue ketinggalan” ucap Esa panik dan langsung lari begitu saja menuju kelas untuk mengambil topinya.
Aku hanya menghembuskan nafas lelah dan melebarkan sedikit kakiku. Supaya tempat Esa tidak ditempati oleh orang lain.
“Cuk, gue lupa bawa dasi” ucap seseorang dari belakangku yang kutebak adalah suara Vian.
“Eh, Sa. Gue pinjem dasinya dong. Kan anak cewek ga keliatan karena ditutup vest” ucap Vian kepada Salsa yang berdiri di depanku.
Jadi, posisinya saat ini adalah kaki kanan Vian berada tepat di samping kaki kananku. Dan badannya ikut ia condongkan di sampingku, bahkan seragam dia dan lengan seragamku sudah bersentuhan.
“Ogah, ntar kalau di cek sama guru bakal disuruh maju baris di depan”
“Ck, gak bakal ketahuan. Kalau ketahuan gue balikin deh” Vian mencolek-colek bahu gadis itu.
“Gamau Vian!” tolak Salsa dengan tegas dan langsung berbalik menghadap ke depan.
Tanpa mempedulikan panggilan permohonan dari Vian yang jujur, sungguh menggangguku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRA IN ELEVEN
Teen Fiction"Eh An, dia katanya suka sama lo" Elvin "Eh, gausah cepu anjir" Hira "Ngomong apaan sih, dasar gajelas" Vian Karena pada dasarnya, baik Aku, Elvin maupun Vian. Kami bertiga tak seharusnya terjebak dalam hubungan rumit ini.