Minggu ini terasa lebih cerah daripada minggu-minggu sebelumnya. Ishvara melepaskan apron yang telah digunakan untuk memasak. Beberapa hidangan hangat sudah tersaji di meja makan.
Tubuhnya terduduk di kursi sembari melepas ikatan di rambutnya. Rambutnya yang panjang dan halus Ishvara biarkan terurai. Sinar matahari yang masuk menambah kilauan alami di rambutnya.
Hari masih pagi namun dirinya baru bisa menyentuh makanan sejak kemarin sore karena ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa di tunda.
Mata Ishvara menatap ke jari tengahnya. Terdapat cincin yang tersemat di sana. Cincin yang diberikan Kave padanya. Pria itu memang tidak bisa mencari waktu yang tepat. Namun Ishvara akui kejujuran Kave padanya. Kave bahkan tak segan untuk berbagi cerita.
Pagi ini, pastinya Kave akan pergi ke pemakaman ibu kandungnya. Tentu saja Ishvara juga akan datang untuk menemani. Ponsel yang tadinya mati kini menyala ketika sebuah notifikasi masuk dari Iris.
Tidak lama kemudian ponselnya berdering lalu Ishvara segera menerima panggilan masuk dari Iris. Ishvara sudah menduga Iris pasti akan bertanya mengenai Kave.
"Bagaimana? apa sudah berbicara dengannya?" tanya Iris di sebrang sana.
"Ya aku sudah berbicara."
Setelah mengatakan itu Ishvara berhenti berbicara sejenak. Setidaknya Ishvara harus bisa menjadi penyampai pesan. Agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka.
"Iris, Kave memiliki pekerjaan sampingan lain oleh karena itu dia terlihat kelelahan. Untuk alasannya karena orang tua. Dia bilang orang tua kandungnya datang dan meminta bantuan darinya. Salah satu dari mereka mengidap tumor dan harus segera menjalani operasi."
Tumor yang tumbuh di area vital membuat biaya operasi menjadi lebih besar. Ditambah lagi Kave tidak menyimpan uang sebanyak itu. Kave baru saja menduduki posisi supervisor beberapa tahun ini. Ishvara menjelaskan semua hal yang ia ketahui kepada Iris.
"Namun terlambat, pagi ini aku akan menemaninya ke pemakaman."
"Kenapa dia tidak bercerita? Ishvara aku hanya kecewa padanya. Hal sepenting ini dia sembunyikan."
Kave memang selalu begitu. Rasa terima kasih yang terlalu besar membuat Kave sama sekali tidak ingin merepotkan keluarga Iris. Bahkan ketika keduanya masih duduk di bangku sekolah. Kave bahkan mengambil pekerjaan paruh waktu hanya untuk membayar biaya-biaya sekolahnya. Padahal Iris dan keluarganya sama sekali tidak keberatan. Bahkan Kave banyak membantu di saat-saat penting.
"Iris mungkin Kave hanya tidak ingin merepotkan keluargamu. Kave sudah mengatakannya padaku bahwa ini adalah kali terakhir keluarganya meminta bantuan."
Kave mengatakan bahwa ia telah membuat perjanjian. Ishvara tidak yakin pasti perjanjian seperti apa yang dibuat. Namun setelah ini ayah kandung Kave sama sekali tidak bisa menuntut ataupun meminta sepeser uang pun walau hanya sekedar membantu.
"Lalu bagaimana apa dia baik-baik saja sekarang?"
"Ya mungkin sedikit lebih baik," lirih Ishvara. Dirinya juga tidak bisa banyak membantu.
"Baiklah, terima kasih. Dia sudah pasti akan menolak mentah-mentah bantuan dari siapapun. Tolong beritahukan kabar tentangnya lagi ya? Aku hanya bisa mengirimkan karangan bunga. Jika kedua orang tuaku senggang mungkin akan menyusul kalian di pemakaman." Iris berkata kepada Ishvara meminta bantuan dari sahabatnya tersebut.
"Ya tentu."
Begitu panggilan di akhiri kini hanya terlihat layar ponsel yang menyala.
Ada sedikit rasa resah begitu mengetahui cerita Kave semalam. Ishvara hanya bisa berharap agar Kave dapat kembali menjalani aktivitas nya dengan perasaan yang lebih baik. Sebenarnya Ishvara juga tidak yakin pasti. Namun sewajarnya seorang anak yang ditinggal oleh orang tuanya pasti ada kesedihan tersendiri yang dialami oleh Kave. Walaupun orang tua kandung pria itu tidak pernah sekalipun menganggap Kave ada sebelumnya. Namun darah selalu lebih kental daripada air.
"Vara."
Pintu apartemen terbuka bersamaan dengan suara yang memanggil, membuat Ishvara membalikkan badan. Kave terlihat datang sambil membawa satu kantong paper bag yang entah apa isinya.
"Secepat ini? bukankah masih beberapa jam lagi?" tanya Ishvara bingung sambil berjalan mendekat mencoba menyambut.
Kave tersenyum hangat begitu Ishvara menyambutnya. Pria itu lantas langsung memeluk tubuh ramping Ishvara mencoba melepas penatnya.
Napas hangat Kave terasa di ceruk leher Ishvara. Sedangkan pemilik tubuh ramping itu hanya diam membiarkan Kave nyaman dalam posisinya. Sambil sesekali menepuk punggung lebar pria tersebut.
"Ada apa?"
Kave menggelengkan kepalanya. Ishvara merasakan kepala pria itu bergerak di pundaknya.
"Apa ingin datang ke sana lebih cepat?" tanya Ishvara hati-hati takut bila Kave merasa tersinggung.
"Hanya ingin bertemu denganmu lebih cepat."
Ishvara menangkup rahang tegas milik pria di depannya. Sepertinya memang benar kondisinya agak membaik. Tampilan rapi Kave adalah yang selalu ingin dia lihat. Meski tidak dapat menutupi mata pria itu yang kelelahan.
Namun tiba-tiba Ishvara tersentak ketika jari tebal dan berurat milik Kave menekan perutnya yang rata.
"Perutmu masih kosong?"
Saat itu juga Kave melepaskan pelukannya. Telapak tangan Kave yang besar bahkan mampu menutupi pinggang ramping Ishvara. Kave bergegas menarik Ishvara menuju meja makan. Mereka akan segera pergi namun perut mereka sama sekali belum terisi apapun. Melihat kondisi apartemen yang lebih rapi daripada dini hari tadi. Sudah dapat dipastikan Ishvara yang membereskan apartemennya seorang diri.
"Seharusnya gunakan waktumu untuk istirahat." Kave berkata dengan tangan yang sibuk dengan santapan paginya.
"Seharusnya aku yang mengatakan itu."
Keduanya kini duduk berhadapan. Ishvara tampaknya fokus dengan santapan ketika Kave membantu menyajikan untuknya. Pria dengan setelan kemeja hitam rapi tersebut hanya menatap Ishvara sambil mengangkat sudut bibirnya. Entahlah rasa lelah di pundaknya kini seakan sirna melihat sang wanita makan dengan nyaman. Meskipun masih ada sedikit sisa kesedihan namun kehadiran Ishvara cukup menghibur baginya.
Acara makan mereka telah selesai Kave segera menahan begitu Ishvara hendak beranjak dari posisi duduknya. Kave menuntun wanitanya untuk kembali duduk. Kini pria itu yang menyelesaikan pekerjaan akhir. Telapak tangan yang tebal dengan urat terlihat jelas ketika membasuh piring yang telah disabuni.
Hanya memakan waktu beberapa menit. Kave kemudian kembali menuju Ishvara yang masih duduk di tempatnya.
"Iris bertanya. Semuanya sudah ku jelaskan. Dia sepertinya khawatir," ucap wanita muda itu hati-hati.
"Aku tahu." Kave mengangkat sudut bibirnya. Lengan beruratnya ia layangkan menuju pinggul Ishvara. Menarik tubuh wanitanya lebih dekat dan memberikan sebuah kecupan hangat yang di layangkan menuju kening lalu merambat turun menuju tengkuk hingga tulang selangka.
Meskipun hanya tindakan sederhana entah mengapa perut Ishvara terasa aneh, seperti ada sesuatu yang bergerak. Wajahnya juga benar-benar memerah atas tindakan barusan.
"Pergi sekarang?" tanya Kave menatap Ishvara penuh kasih. Mata pria itu sayu namun hal inilah yang justru membuat jantung Ishvara semakin berdebar. Setelah mengatakan itu keduanya pun pergi menuju pemakaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cruel Duke and Duchess
General FictionHidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh utama wanita yang bukunya sempat dia baca di kehidupan sebelumnya. Kini dia harus membiasakan diri deng...