#01 pindah

1K 127 10
                                    

Sadewa adalah orang yang paling heboh ketika mengetahui kakaknya diterima mengajar di SMP Bina Bakti, sebuah sekolah swasta besar yang jaraknya cukup jauh dari rumah mereka. Sadewa memastikan betul kalau Jidan tak salah baca pemberitahuan penerimaan atau tak salah saat memasukkan lamaran pekerjaan bulan lalu.

"Baca sekali lagi, takutnya salah nama, bukan nama lo."

"Itu beneran, kan? Guru Bahasa Indonesia? Takutnya Bahasa lain, atau malah cuma staf TU, atau malah petugas kebersihan."

"Emangnya bisa gantiin orang di tengah-tengah semester gini?"

"Gajinya? Udah dikasih tahu belum?"

"Itu lo ngajar satu kelas doang atau semua kelas? Dari kelas satu sampai tiga?"

"Bang, lo denger gue nggak!?" Sadewa agak membentak ketika Jidan tak kunjung meresponsnya, lelaki itu hanya duduk diam, menunduk seraya menatap serius sebuah bandul dari gantungan tas yang tak sengaja menyangkut di tasnya sampai terbawa ke rumah kemarin ketika mereka datang untuk pemeriksaan rutin ke rumah sakit bagian poli jiwa.

Jidan masih memainkan bandul gantungan tas tersebut, tak mengabaikan Sadewa di depannya yang heboh sejak tadi. Sampai kemudian Sadewa merebut benda tersebut, membuat Jidan akhirnya pasrah dan baru mengalihkan fokus ke adiknya.

Sadewa masih menatap Jidan, hidungnya kembang kempis menahan emosi sekaligus khawatir. Usia mereka boleh jadi terpaut delapan tahun, tapi untuk Sadewa, abangnya itu tak lebih dari seperti benda rapuh yang selalu membuatnya khawatir karena bisa hancur kapan saja.

"Nanyanya satu-satu, jangan cepet-cepet, gue juga bingung jawabnya," keluh Jidan. Ia menyandarkan punggung ke sofa, masih terus menatap Sadewa yang berdiri di depannya.

Sadewa menarik napas, mengatur lagi emosinya. Ia baru pulang kuliah—buru-buru ingin segera pulang setelah Jidan mengabarinya siang tadi kalau ia dapat surel penerimaan lamaran pekerjaannya di SMP Bina Bakti tersebut yang dikirim sebulan lalu, mengabaikan ajakan temannya untuk mengerjakan tugas bersama demi segera bertemu dengan Jidan. "Oke, jadi email itu bener?" tanyanya.

"Gue udah forward ke lo."

Iya, Sadewa juga sudah membacanya dengan berulang kali, tapi entah kenapa dia harus kembali memastikannya. "Lo beneran lamar posisi guru Bahasa Indonesia, kan?"

"Iya, Sadewa."

"Oke." Sadewa menarik napas lagi. "Lo udah jelasin kondisi lo?"

"Gue udah lampirin surat kesehatan gue waktu ngelamar."

"Oke, berarti mereka nggak keberatan sama hal itu." Ia mengangguk lega. "Terus gajinya? Jadwal ngajarnya?"

"Itu belum tahu. Gue juga masih ada tahap interview minggu depan, jadi jangan berlebihan dulu. Belum tentu gue bener-bener diterima."

Benar. Surel itu memang menyatakan kalau lamaran pekerjaan Jidan diterima, tapi di bawahnya tertulis lagi undangan wawancara yang harus Jidan penuhi, jadi belum benar-benar menyatakan kalau Jidan diterima mengajar di sana. Memang Sadewa agak berlebihan, tapi ia tak bisa tidak berlebihan kalau menyangkut Jidan.

"Ya udah, gue ikut."

"Ikut ke mana?" tanya Jidan.

"Interview."

"Ngapain?"

"Ya, gue anter. Ini jauh lho."

"Gue bisa naik KRL. Lo anterin gue ke stasiun aja nanti, gue bisa nyambung naik ojek di sana."

"Iya, tapi—"

"Gue bisa sendiri, Sadewa." Jidan menatap serius. "Inget janji lo buat ngebebasin gue ngelakuin apa pun."

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang