#12 obat

507 101 6
                                    

Seperti yang Sadewa suruh, Jidan sudah berusaha untuk minta maaf pada Gladys. Ia mengirimkan pesan singkat pada perempuan itu tak lama setelah ia membersihkan pecahan piring dan segala kekacauan yang ada di kamarnya, tapi mulai dari langit terang hingga kini sudah gelap, Gladys belum membalasnya. Jangankan membalas, dibaca pun tidak. Dan Jidan tak mendengar suara pintu kamar Gladys dibuka lagi, itu menunjukan bahwa pemiliknya belum kembali setelah pergi sore tadi.

Jidan berusaha tak khawatir—untuk apa juga, kan, ia khawatir? Ia berusaha kembali fokus pada pekerjaannya, tapi tak bisa. Entah apa yang salah pada dirinya, Jidan tak mengerti. Ia jelas tahu kalau dalam hal ini Gladys juga salah, tapi mengingat kembali wajah marah, kesal, sedih, dan sakit hati itu benar-benar mengganggu perasaan Jidan. Rasanya sekuat tenaga ia mencoba fokus pun akan sia-sia.

Selama dua minggu lebih tinggal di kost tersebut, ini pertama kalinya Jidan merasa gundah dan resah tak karuan. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menemui Gladys secara langsung.

Jidan menutup laptopnya dengan gerak kasar, meraih ponselnya, lalu membuka pintu kamar. Sejenak berdiri di ambang pintu, menatap pintu kamar di seberangnya yang tertutup rapat. Ia memang tak mendengar suara pintu Gladys kembali dibuka, dan cukup yakin perempuan itu belum kembali ke kamarnya, tapi tak ada salahnya untuk memastikan, kan?

Setelah menarik napas dalam-dalam, Jidan melangkah ke kamar seberang, mengetuk pintunya secara perlahan sambil mencuri dengar ke arah dalam kamar apakah sang penghuninya ada di sana atau tidak. Ia mencoba mengetuk beberapa kali, dan beberapa kali itu pula ia tak mendapat jawaban apa pun sampai tiba-tiba Kiara mengejutkannya.

"Mas?"

Jidan nyaris terlonjak kalau saja tidak dengan cepat mengontrol diri. Kenapa juga ia harus terkejut? Padahal ia tidak sedang ingin mencuri sesuatu atau diam-diam masuk ke kamar seorang perempuan seperti lelaki mesum yang gila.

"Nyari Gladys?" tanya Kiara yang baru muncul dari arah tangga. Di tangannya ada sebuah goodie bag berlogo salah satu restoran ayam, yang menandakan bahwa Kiara baru saja mengambil makanan pesanannya dari ojek online yang mengantarnya.

"Iya …."

"Kayaknya nggak ada deh, lagi keluar mungkin. Soalnya tadi aku nggak lihat sendalnya di depan. Tahu sendiri, kan? Dia nggak pernah naruh sendalnya di rak sepatu?"

"Oh, gitu …." Jidan meringis.

"Coba aja di telepon kalau penting, Mas. Dia nggak bisa ditebak pergi ke mana, sama siapa, dan pulang kapan soalnya." Kiara nyengir kecil.

Masalahnya …, pesan teks pun tak dibalas apalagi telepon, perempuan itu pasti akan mengabaikannya. Jidan mendesah. "Oh, ya udah kalau gitu. Makasih."

"Mau ke mana, Mas?" tanya Kiara melihat Jidan tak kembali ke kamarnya, melainkan melangkah ke arah tangga. "Nyari Gladys?"

Jidan bingung. "Eum … nggak, saya mau … eum … ke warung Mak Idah. Mau beli sesuatu."

"Oh …." Kiara menatap tak percaya, tapi Jidan sangat enggan mengakui kalau ia memang akan mencari Gladys entah ke mana, ia juga belum tahu.

"Makasih, ya, Kia." Jidan memutus percakapan dengan segera pergi dari sana, menyisakan Kiara di depan pintu kamarnya sendiri, menatap lelaki itu sebelum kemudian terkekeh kecil.

Tempat pertama yang coba Jidan lihat untuk mencari keberadaan Gladys adalah rooftop. Mereka pernah ke sana, tapi Gladys ke tempat itu lebih sering dari semua orang. Tujuan tentu saja seperti yang waktu itu pernah Jidan lihat dengan mata kepalanya sendiri, yaitu melihat langit, bulan lebih tepatnya, karena kebetulan ketika Jidan keluar dan menatap langit, ia melihat bulan purnama sedang muncul dan sedang terang-terangnya, Gladys tak mungkin melewatkan momen itu.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang