#23 maaf

689 110 3
                                    

Untuk banyak alasan, hampir seluruh orang di dunia pasti menginginkan akhir pekan yang panjang, yang lebih dari sekadar dua hari. Rasanya dua hari itu tak cukup untuk memulihkan tenaga setelah beraktivitas penuh selama lima hari, tak cukup untuk memulai liburan dengan agenda menjernihkan pikiran.

Semenjak mulai magang, Gladys selalu menginginkan akhir pekan panjang itu. Meski dua hari hanya digunakan untuk marathon drama Korea atau membuat kue atau pulang ke rumah, tapi tetap rasanya tak cukup. Ia butuh minimal satu minggu untuk lima hari kerja. Sepertinya itu cukup.

Kali ini pun begitu. Setelah memutuskan untuk menerima Jidan, menerima perasaannya sendiri, berhenti melawan, berhenti menyangkal sebuah fakta yang mengatakan kalau ia memang sudah jatuh cinta pada Jidan, Gladys mulai membuka dirinya lebih banyak pada Jidan, menceritakan apa yang sebelumnya tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Tentang keluarganya, tentang masa lalunya, tentang dirinya sendiri. Jidan lebih banyak mendengarkan, seolah kembali kepada Jidan yang awal, yang lebih banyak diam, tapi kini jauh lebih lembut dan perhatian karena Gladys tahu bahwa lelaki itu memperhatikannya dengan sangt baik.

Dan akhir pekan kali ini Gladys sudah berencana untuk mengajak Jidan ke makam Bulan, untuk menunjukkan lebih banyak luka yang tertoreh di diri Gladys. Ia sudah tak malu atau ragu, sebab belakangan Jidan juga sudah bercerita bahwa lelaki itu punya luka yang sama, punya masa lalu yang hampir mirip dengannya, yang membuat Gladys mengerti kenapa mereka bisa saling nyaman satu sama lain, dan ucapan Jidan jadi lebih masuk akal perihal saling mencintai untuk mengobati.

Gladys tak bilang pada orangtuanya kalau ia akan pergi ke makam Bulan, sebab sepulang dari sana, rencananya Jidan akan mengajak ke rumahnya, menginap semalam sebelum kembali ke kostan karena esok harinya mereka harus kembali ke kenyataan yang melelahkan.

"Bul, gue dateng lagi," ujar Gladys pada sebuah pusara dengan nisan bernama Bulan, setelah ia merunduk untuk menaruh buket bunga yang dibawanya. "Kali ini gue nggak sendiri. Gue sama ... Pak Guru." Kali ini pun ia merasa lebih tenang dari biasanya. "Tahu, kan? Dia suka gue ceritain ke lo. Sekarang, gue kenalin dia ke lo secara resmi." Ia menoleh ke arah Jidan di sampingnya, yang tersenyum padanya, dan merangkulnya, mengusap pundaknya untuk memberi kekuatan.

"Hai, Bulan. Saya ... Jidan. Pacarnya Gladys."

Mendengar itu Gladys mendengus. "Iya, sekarang kita pacaran. Pacaran beneran, secara normal, karena saling suka. Lo marah nggak, Bul?" Ia diam sejenak. "Gue minta maaf karena gue nggak bisa pertahanin hubungan gue sama Kak Bintang. Gue nggak benci dia, sama sekali nggak. Tapi kayak yang lo tahu, situasinya rumit dan ... agak menyakitkan buat gue dan juga Kak Bintang sendiri. Tapi lo juga nggak perlu khawatir soal itu, gue pelan-pelan udah mulai lupain walau rasa bersalah gue ke lo ... gue nggak tahu kapan berakhir."

"Kamu bisa," bisik Jidan di samping Gladys.

"Dan orang ini, Bul; Pak Guru ..., dia secara ajai bantu gue buat pelan-pelan sembuh. Buat nggak khawatir sama yang terjadi di masa lalu, buat ngobatin luka masa lalu, buat lupain kenangan menyakitkan yang selalu ini selalu jadi bayang-bayang gue, padahal dia juga punya rasa sakit yang sama."

"Bul, gue nggak akan pernah lupain lo. Gue harap, di atas sana pun lo nggak ngelupain gue. Lo boleh pantau gerak-gerik gue dari atas sana, tiap malem lo muncul, kan? Gue akan berusaha nyempetin waktu buat lihat lo.

"Gue juga nggak akan lupain Kak Bintang. Tolong bilangin ke dia, kalau gue minta maaf karena bikin dia kehilangan adik tercintanya. Gue masih belum berani buat bilang langsung soalnya. Gue takut—"

"Apa yang kamu takutin?"

Suara itu membuat Gladys dan Jidan tersentak, seketika mendongak untuk menemukan seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari tempat mereka sekarang, menatap keduanya dan sejak beberapa saat lalu dengan sengaja diam mendengarkan Gladys berbicara dengan makam Bulan.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang