#14 kukis

510 102 3
                                    

Hari ini Sadewa akan datang ke kostan Jidan setelah dua minggu tak bisa terus karena jadwal mengajar privatnya, padahal sebelum Jidan resmi menjadi anak kost, Sadewa sendiri mengatakab pada kakaknya bahwa ia akan datang setiap minggu atau setiap ia punya waktu libur.

Perlu waktu beberapa jam menggunakan mobil dari rumah menuju kostan. Semalam Sadewa sudah mengatakan kalau ia akan datang bersama Radin, teman perempuannya yang Jidan perhatikan sudah lebih dari teman karena rasanya mereka terlalu dekat. Ya, kalau cuma sekadar  teman biasa, mana mau Radin meminjamkan Sadewa mobilnya saat Jidan pertama kali pindah ke kostan? Dan mana mau perempuan itu ikut Sadewa datang ke kostan Jidan di hari libur seperti ini? Lebih baik bermalas-malasan di rumah dengan tidur seharian.

Ya, Jidan juga niatnya begitu. Ia akan tidur lebih lama hari ini sebelum kemudian mandi dan meenunggu kedatangan Sadewa dan Radin. Tapi sejak matahari terbit, Jidan tak bisa lagi memejamkan matanya mendengar suara musik dangdut yang diputar dengan keras. Tanpa mencari tahu siapa pelakunya, Jidan sudah bisa menebaknya karena ini jelas bukan yang pertama kali, tapi kalau didengar lebih teliti lagi, musik dangdut itu bukan berasal dari kamar Gladys seperti tebakannya, melainkan dari lantai bawah.

Jidan ingin menebak itu ulah Reza, tapi seperti tak mungkin, seperti bukan Reza yang sejauh ini ia kenal, yang mementingkan kenyamanan penghuni kostan di atas apa pun. 

Dan setelah memasang telinga lebih jelas lagi, mendengar lagu dangdut yang diputar, juga suara-suara alat masak yang beradu, Jidan akhirnya bisa meyakini siapa yang tidak menggunakan hari liburnya untuk bangun siang dan bermalas-malasan.

Gladys.

Orang yang sejauh ini sebenarnya sangat tidak mungkin untuk melewatkan kesempatan itu.

Jidan tak tahu apa yang mendorongnya untuk memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar setelah membasuh wajah dan sikat gigi. Mungkin rasa bersalahnya yang masih tersisa meski sudah meminta maaf, atau hal lain yang tidak Jidan ketahui. Yang jelas, ia datang menghampiri Galdys di dapur yang terlihat begitu bersemangat mengadoni bahan kue sembari berjoget ria mengikuti dentuman musik yang bergema.

"Pak Guru!!!" serunya begitu melihat Jidan sudah ada di dekat dapur, berdiri menatapnya. 

Sesaat Jidan sedikit menyesali apa yang dilakukannya untuk turun ke bawah. Tapi jika dipikir lagi, ia sendiri juga pasti tak bisa melanjutkan tidur meski dipaksakan. Terbiasa bangun pagi, dan suara lagu dangdut itu terlalu mengganggunya. 

Gladys menghampiri Jidan dengan riang. Tanktop bergarisnya, celana pendek, rambut cepol asalnya, dan tepung yang mengotori pipinya, lengannya, bahkan tanktop-nya itu. Kenapa juga dia tidak suka pakai celemek ketika sedang memasak?

Jidan lalu ingat tempo hari Gladys mengatakan akan bikin kukis, mungkin maksudnya hari ini.

"Kok udah bangun, sih? Mau bantuin gue, ya?" Gladys tersenyum menggoda.

"Ngapain juga saya bantuin kamu?"

"Terus???" Mata Gladys menyipit curiga.

"Musik kamu berisik, saya jadi kebangun."

"Oh …," perempuan itu mengangguk, "sengaja." Lalu terkikik menyebalkan.

"Bisa dimatiin nggak?"

"Nggak."

Jidan membuang napas. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi, maka dari itu memilih berbalik saja, namun sebelum ia melangkah pergi, Gladys menahannya dengan kedua tangan. 

"Karena lo udah di sini, mending sekalian bantuin gue. Ini gue mau bikin kukis."

"Hah? Bantuin ap—"

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang