Gladys merasa semenjak ada Jidan, ia seperti seorang pengasuh yang baru kedatangan bayi baru. Bayi besar. Bayi yang belum bisa sepenuhnya mengurus dirinya sendiri. Ya, begitu lah Jidan. Bagaimana bisa cowok tinggi yang usianya kalau boleh Gladys tebak, pasti sudah mau menyentuh kepala tiga—atau mungkin sudah, karena bisa jadi Jidan punya wajah awet muda, mengingat kelakuannya pun seperti anak kecil yang masih butuh perlindungan. Cowok itu masih harus selalu diingatkan untuk makan, tak terlalu banyak tahu tentang kehidupan yang liar—oke, itu bagus, tapi tak terlalu bagus juga. Bahkan Jidan seperti tak bisa merawat dirinya sendiri. Gladys jadi penasaran bagaimana Jidan ketika mengajar. Apa lelaki itu masih terlihat seperti bayi besar yang menggemaskan?
Gladys terkikik sendirian di kamarnya membayangkan hal itu.
Setelah ia selesai membuatkan nasi goreng yang diberi nilai 93 itu dan memastikan Jidan memakannya sampai habis, mereka masuk ke kamar masing-masing. Jidan mengatakan akan lanjut menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan Gladys berbaring di atas tempat tidurnya, menatap tempelan bintang dan bulan di langit-langit kamarnya yang menyala kala lampu kamarnya di matikan. Dan itu membuat ia kembali mengulang apa yang terjadi hari ini. Mulai dari Jidan yang membuatnya kesal, sampai Jidan yang membuatnya terasa hangat.
Sebenarnya Gladys tak terlalu marah saat Jidan menarik paksa dirinya untuk keluar dari kamar lelaki itu, bagaimanapun ia sadar kalau ia juga salah karena sudah menganggu Jidan yang sedang serius di kamarnya, belum lagi Sadewa sudah memperingatkannya, tapi ia tak menyangka kalau ternyata bisa seburuk itu. Belum lagi perihal bakso goreng yang dibuatnya, yang terpaksa harus dibuang karena sudah jatuh ke lantai, bercampur dengan pecahan piring. Untuk yang satu itu ia sebal, sebab ia tak bisa memaafkan seseorang yang tak menghargai usahanya dalam membuat makanan, tapi lagi-lagi ia sadar diri kalau yang membuat bakso goreng itu tak bisa dimakan juga karena dirinya yang mengacau di kamar Jidan.
Ia tak berniat membuat keadaan itu semakin berlarut, tapi ia juga tak menyangka kalau Jidan mau mengalah lebih dulu untuk datang mencarinya dan meminta maaf. Mengingatkan Gladys pada seseorang yang pernah mengisi hari dan hatinya di masa lampau. Seseorang yang pergi dan mungkin enggan untuk kembali pada Gladys karena Gladys menyimpan kesalahan besar yang sulit utuk dimaafkan, yang mengubah seseorang yang sebelumnya begitu pemaaf menjadi seseorang yang tak pernah memaafkan.
"Gay, lo percaya reinkarnasi nggak?" Gladys berbicara pada teleponnya, pada Narga yang bilang kalau ia baru sampai kontrakan karena ia baru pulang dari kedai kopi setelah menyelesaikan shift sorenya.
"Apa, sih?" Narga enggan menjawab. Bahkan ia juga ogah-ogahan mengangkat telepon dari Gladys, tapi karena tahu besoknya perempuan itu akan mengamuk di kedai kopi kalau tahu Narga mengabaikan teleponnya dengan sengaja, lelaki itu memilih jalur aman.
"Reinkarnasi, Gay!" Gladys mengulang.
"Iya, gue tahu. Maksudnya apaan? Lo tiba-tiba banget nanya soal reinkarnasi. Gue nggak percaya gituan."
Gladys mendesah. "Tapi lo percaya nggak kalau ada orang yang punya sifat dan sikap yang sama persis kayak orang yang pernah lo kenal di masa lalu?"
Di ujung sana Narga terdengar bergumam panjang saat berpikir. "Percaya, sih. Walaupun nggak seratus persen sama, tapi mungkin ada satu dua hal yang bisa lo temuin sifat dan sikap orang lama di orang yang baru. Itu tandanya lo belum move on!" Lelaki itu terkikik. "Lagian kalau cuma karena lo ngelihat sifat childish seseorang terus bikin lo inget sama orang lama, itu namanya lo belum move on! Semua hal yang lo lihat dan lo rasain disangkutpautin sama orang lama. Idih!"
Perempuan itu cemberut. Ia ingin protes, tapi sayangnya ucapan Narga yang cukup menusuk itu ada benarnya juga, ia harus mengakuinya.
"Ada apa, sih, Dys? Lagi naksir orang yang sifat dan sikapnya sama kayak mantan lo, ya? Makanya bisa naksir." Narga kembali terkekeh. "Tapi itu sih bukan naksir beneran namanya, lo cuma belum lupa aja sama orang lama, makanya pas ketemu yang sama kayak mantan langsung geter lagi tuh hati. Kasihan tuh cowok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.