#18 permintaan

513 117 5
                                    

Di depan sebuah pusara itu Gladys berdiri tegak memandangi batu nisan bertuliskan nama sahabatnya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum kemudian merunduk untuk menaruh sebuket bunga yang ia beli dalam perjalanan tadi, lalu mengguyurkan air mawar yang didapatnya dari seorang pedagang yang berjualan di depan area makam.

Kemudian Gladys berjongkok, kepalanya menunduk, dan perlahan merasa sesak hingga air matannya mulai berdesakkan meminta keluar.

Ia datang bersama sang mama, tapi ia juga yang meminta mamanya untuk menunggu di tempat parkir saja di dalam mobil sementara Gladys menghampiri makam Bulan sendirian. Sudah empat tahun berlalu, ia pikir ia sudah cukup kuat untuk menghadapi ini sendirian, tapi nyatanya tetap sama, Gladys tak bisa menahan rasa sakitnya hingga akhirnya air mata itu lolos begitu saja meski ia berusaha menahannya.

Ada banyak hal yang ingin Gladys sampaikan pada Bulan, ia bahkan sudah melatihnya ketika di rumah tadi, tapi setelah sampai mendadak apa yang sudah direncanakan menguap pergi. Lidahnya seperti kelu, kerongkongannya terasa tercekat untuk sekadar mengeluarkan suara sedikit.

Apa Bulan akan marah kalau Gladys pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun?

Mungkin tak apa, karena bagaimanapun juga, Gladys sudah sering curhat pada Bulan, di bawah cahaya bulan.

Tapi keberanian untuk datang ke tempat ini tak pernah selalu ada, Gladys mengumpulkannya cukup lama untuk hari ini, dan ia tak boleh menyia-nyiakannyaa begitu saja.

Ia menarik napas dalam sebelum kemudian kembali mendongak dan menatap nisan itu, mengusapnya dengan tangan gemetar. "Bul ...," panggilnya lirih. "Gue dateng .... Lo gimana kabarnya di sana? Pasti baik-baik aja, kan? Karena gue di sini juga baik-baik aja, seenggaknya gue akan berusaha begitu, lo nggak perlu khawatir sama gue."

"Minggu depan lo ulang tahun, tapi maaf gue nggak bisa dateng, makanya gue dateng hari ini buat ngucapin ulang tahun ke lo." Gladys mengusap air matanya yang belum berhentimengalir meski ia tak merasa sesesak sebelumnya. "Selamat ulang tahun, Bul. Keren, ya, lo .... Udah empat tahun berlalu tapi usia lo tetep tujuh belas." Ia terkikik kecil meski itu terdengar seperti isak yang menyesakkan.

"Ada banyak hal yang pengin gue ceritain ke lo, tapi gue yakin dari atas sana, lo udah tahu semuanya tentang gue. Lo udah lihat semuanya. Iya, kan?" Dengan susah payah, Gladys mencoba untuk tersenyum.

"Gue masih suka berantem sama Nargay, walau gue tahu dia sayang sama gue, meski dia lebih sayang sama Mbak Kiul. Mas Rion masih suka ngasih gue tebengan. Bang Eza masih gitu-gitu aja, sih, tapi Mak Idah makin baik aja karena suka sediain bahan masakan buat gue masak. Mbak Kiul juga makin nyebelin, tapi beruntungnya dia udah lepas dari cowok toxic-nya itu. Magang gue juga bentar lagi kelar, dan habis itu gue bakal dipusingkan sama laporannya. Terus ..., Pak Guru," ia terkekeh sejenak, "gue pacaran sama dia, walau lo juga pasti tahu kalau kami nggak kayak orang pacaran karena kami punya peraturan yang nggak biasa.

"Iya, gue tahu kalau gue jahat karena ngejadiin dia bahan pelampiasan gue sama rasa rindu dan rasa bersalah yang gue punya ke lo dan Kak Bintang. Apa lo yang sengaja ngirim Pak Guru ke gue? Buat lebih menyiksa gue karena setiap lagi sama dia, gue selalu inget sama lo dan Kak Bintang. Kalau emang iya, lo gagal, Bul. Pak Guru emang bikin gue tersiksa karena bikin gue inget sama lo dan Kak Bintang, tapi Pak Guru juga yang secara ajaib bisa nenangin gue kalau gue lagi sakit karena ingatan itu.

"Dia seru, gue suka godain dia. Orangnya polos dan kaku banget kayak bayi baru lahir ke dunia, nggak tahu apa-apa. Tapi gue harus akui kalau dia ... baik banget. Dia bikin gue nyaman, dia perhatian dengan caranya yang kadang bikin gue kesel, dan dia ... ganteng." Gladys terkekeh pelan lagi. "Gue bakal beneran jatuh cinta sama dia kalau dia nggak ngingetin gue sama lo dan Kak Bintang."

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang