"Gimana? Enak nggak?" Di hadapan Jidan, Gladys menumpu dagunya, menatap lelaki itu dengan serius dan berkedip-kedip centil, tersenyum sok manis yang membuat Jidan agak nggak nyaman padahal jarak mereka tak terlalu dekat, terpisah meja.
"Saya baru cobain dikit," balas lelaki itu agak terbata, agak enggan untuk menyendok lagi telur tomat yang Gladys buat untuknya, padahal saat perempuan itu sedang masak dan ia sendiri cuma diam memperhatikan dari arah belakang, aroma telur tomat yang menguar ke seluruh ruangan membuat Jidan semakin lapar hingga tak sabar untuk segera mencicipinya. Tapi kalau makannya sambil dilihatin kayak gini ... rasanya aneh.
"Ya udah, coba lagi." Gladys masih di posisi yang sama, masih dengan kedipan mata yang sama, juga dengan senyum yang sama, bisa-bisa membuat Jidan merinding. Ia makan dengan perempuan cantik, tapi terasa makan dengan hantu.
Dengan agak enggan, Jidan menyendok lagi makanannya; telur tomat dan nasi hangat. Memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya, lalu menelannya dengan susah payah, seolah sebuah besi yang sedang ia makan sekarang.
"Gimana?" tanya perempuan itu lagi.
Jidan memejamkan mata sejenak, membuang napas, lalu tiba-tiba menaruh sendoknya, membuat Gladys mengerutkan kening bingung. "Gadis—"
"Kenapa? Nggak enak? Asin? Atau gimana?" Gladys langsung menyerobot dengan panik. "Tadi udah gue coba, dan itu enak banget. Lo jangan macem-macem, ya." Aneh. Mendadak jadi mengancam. Jidan jadi takut, tapi seminggu kenal dengan perempuan itu, ia sudah tak heran.
"Gadis, dengerin saya dulu." Jidan menarik napasnya lagi. "Saya nggak bisa makan dengan tenang kalau kamu ngelihatin saya kayak tadi. Makanannya jadi susah ketelen."
"Lebay banget," perempuan itu mencebik. Menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa? Grogi ya dilihatin cewek cantik kayak gue?"
"Selera makan saya ... jadi hilang." Oke, Jidan cukup berani untuk mengatakan hal itu. Padahal ia sudah tahu dan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Gladys langsung murka. Ia berdiri secara menggebrak meja, menatap lelaki di depannya itu dengan tatapan tajam yang penuh amarah walau ekspresinya agak lebay, seperti aktris abal-abal yang baru belajar akting. "Maksud lo apaan!?" katanya keras, membuat Jidan sampai memejamkan matanya seolah suara itu bisa menghantam tubuhnya sampai bisa membuatnya jatuh dari kursi sekarang.
"Maksud saya ...." Oke, maksudnya apa? Jidan juga kesulitan untuk menjelaskan. Ia tidak ada maksud buruk, tapi ia juga tidak bisa bohong kalau apa yang Gladys lakukan tadi; dengan menatap dan tersenyum padanya seperti tadi itu membuatnya agak kesulitan menelan makanannya senditi, tapi ia tetap merasa lapar. "Kamu kan bisa biasa aja gitu ngelihatin sayanya," sambungnya dengan suara lebih pelan.
Perempuan itu medesah, lalu kembali duduk dan kembali melipat tangannya. "Kenapa sih sama tatapan gue? Takut gue jatuh cinta sama lo? Tenang aja, Pak Guru, nggak akan. Gue nggak akan jatuh cinta sama lo, malah kayaknya lo yang bakal jatuh cinta sama gue." Ia terkikik menyebalkan. "Lo nggak tahu kan gue masukin apa ke makanan itu?"
Seketika Jidan menatap makanannya dengan tatapan ngeri.
"Pelet," lanjut Gladys sebelum kembali tertawa sembari menutup mulutnya sok cantik.
"Pelet ... ikan?" Jidan bertanya dengan tatapan polos yang membuat Gladys mendengus sebal. Tawanya reda seketika.
"Pelet cinta. Lo tahu nggak?"
"Nggak."
Gladys makin bete. "Lo hidup di dunia ini udah berapa tahun, sih? Masa nggak tahu yang namanya pelet cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.