#15 kasar dan lembut

633 102 19
                                    

Jidan merasa harus menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi antara ia dan Gladys. Ia menyangka kalau Gladys tak serius mengajaknya berpacaran—ya ..., tipial seorang Gladys yang sejauh ini ia kenal, walau kenyataannya Jidan memang belum benar-benar kenal dengan Gladys, atau memang sebenarnya perempuan itu sangat sulit dimengerti. Namun ternyata, setelah apa yang terjadi semalam, pagi tadi Gladys mengirim pesan singkat padanya dengan kalimat seolah mereka benar-benar pacaran. Membuat Jidan tak bisa fokus selama mengajar, bahkan Sabria, seorang staff TU yang juga teman dekat Reza, menegurnya dengan nada agak khawatir.

"Pak Jidan?" perempuan itu menegur saat mereka mengantre untuk makan siang.

Jidan menoleh dengan raut terkejut. Tersenyum kaku, lalu sebelum Sabria mengatakan apa-apa lagi, Jidan langsung menyela, "Soal, ya, Bu? Saya kayaknya baru bisa kirim besok, malem ini mau saya periksa ulang dulu soalnya."

Sabria terkekeh. "Nggak apa-apa, Pak Jidan. Kan saya udah bilang, agak telat nggak apa-apa, cuma jangan terlalu mepet aja, repot soalnya."

"Iya, saya usahakan besok saya kirim ke Bu Sabria, ya." Jidan meringis kecil.

"Tapi bukan itu yang mau saya omongin sih, Pak."

"Oh, apa?"

"Maaf sebelumnya, tapi Pak Jidan nggak apa-apa, kan? Soalnya kelihatannya kayak ... agak kurang sehat."

Setelah mendapat makanan, keduanya kompak tanpa kata menuju salah satu meja yang kosong dan saling duduk berhadapan di sana.

"Gitu, ya?" Jidan meringis lagi. Ia tak sadar kalau perasaan gundah yang sedang ia rasakan saat ini akan terlihat juga oleh orang lain sampai menyangka kalau ia sedang kurang sehat, mungkin lebih tepatnya kurang waras, sih.

"Iya." Sabria mengangguk setuju. "Lagi banyak pikiran, ya? Nggak betah di kostannya Eza?"

Jidan langsung menggeleng keras. "Nggak kok, saya baik-baik aja di kostannya Eza. Dia baik, Mak Idah juga baik." Ia berusaha untuk terrsenyum. "Saya cuma ... agak kepikiran soal PTS aja yang belum selesai."

Sabria tertawa pelan. "Iya, sih. Saya ngerti. Tapi jangan terlalu dipikirin juga, Pak. Nanti malah begitu soalnya kelar, eh Pak Jidan malah sakit. Kan ribet juga, Pak."

Iya, karena setelah perkara soal ujian PTS ini selesai pun tugasnya sebagai guru masih banyak. Bahkan lebih banyak. Mengoreksi lembar jawaban, memberi nilai, belum lagi mengurus kelas yang dipegangnya yang artinya mengurus nilai yang masuk dari beberapa guru mata pelajaran untuk di kumpulkan di rapor sementara yang nanti akan dibagikan setelahnya sebagai hasil selama setengah semester ini. Tapi setelah PTS selesai, Jidan sudah minta izin untuk tak masuk ke sekolah selama sehari atau dua hari untuk pergi check up rutin, dan sudah diberi izin.

Jidan berusaha untuk tak memikirkan perihal apa yang terjadi antara ia dan Gladys setelah makan siang selesai. Jidan bisa memikirkan itu nanti saat sampai kostan, dan ia bisa mengajak Gladys berdiskusi, meluruskan permasalahan yang terjadi antara mereka yang entah kenapa rasanya jadi rumit begini.

Namun sebelum usahanya berhasil, ponselnya tiba-tiba mendatangkan sebuah pesan dari kontak yang diberi nama 'Gadis Kost'. Sebuah nama yang seharusnya ia hindari, tapi malah seolah tak bisa membuat Jidan bernapas lega.

Gadis Kost
pak guruuuuuuu
gie apaa ?
udh makan blm nich sayangnya aq ?
makan siang sm apa ?

Jidan sebisa mungkin menghindari bertukar pesan dengan Gladys. Alasannya tentu karena cara mengetik perempuan itu yang membuatnya sakit kepala. Jiwa guru Bahasa Indoniesi-nya bergetar membaca deret demi deret pesan yang Gladys kirim untuknya.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang