#08 ibu peri

424 96 7
                                    

"Sorry, ya, Mas ...." Kiara menatap Jidan dengan rasa bersalah setelah mengetahui bahwa Jidan terganggu dengan suara tangisannya tadi, bahkan sampai takut karena menganggap itu suara hantu.

Jidan nyengir canggung. "Nggak apa-apa, Kia. Tapi kamu udah nggak apa-apa, kan?" Dan ia juga agak khawatir karena mendengar suara tangisan itu dengan cukup jelas, ia menyangka kalau pastiada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang menyakitkan. Tak ingin ikut campur, tapi setidaknya Jidan mau bertanya.

"Nggak apa-apa kok." Kiara tersenyum. "Aku masih kurang terbiasa di samping kamar ada yang isi, jadiya tadi agak kelepasan. Lain kali, aku bakal lebih hati-hati."

"Nggak perlu," balas lelaki itu, masih cukup serius. "Kalau mau nangis, nangis aja yang kenceng, nggak apa-apa, saya nggak akan terganggu kok. Tadi tuh karena nggak tahu kalau kamu yang nangis, jadinya sedikit ... ya, gitu deh." Ia nyengir lagi. "Dokter saya bilang, kalau nangis jangan ditahan-tahan, dilepasin aja. Walau nggak bisa nyelesain masalah, seenggaknya perasaan kita jadi sedikit lega."

Kiara menegerjap, menatap Jidan dengan cukup dalam. Tidak seperti Gladys yang mudah dekat dengan siapa pun, Kiara termasuk orang yang susah untuk dekat dan didekati. Satu alasan kenapa ia tak pernah akur dengan Gladys, meski memang Gladys sangat menyebalkan dan seperti tak ada satu hal pun yang bisa membuat mereka akur. Bahkan dengan Reza pun Kiara masih merasa agak canggung, ia tak pernah ngobrol lama, hanya sesekali, itu pun kalau sangat penting yang kabanyakan tentang kostan. Selebihnya Kiara lebih suka menyendiri di kamarnya kalau tak ada kegiatan apa pun.

Ia dan Jidan baru resmi berkenalan seminggu yang lalu, dan mungkin hanya tiga kali mengobrol secara langsung. Status Jidan yang seorang guru membuatnya lebih enggan lagi untuk memulai percakapan, rasanya mereka lebih tak punya kesamaan yang bisa membuat keduanya mengobrol lebih banyak. Belum lagi Jidan berangkat ke sekolah lebih pagi dari jadwal bangun Kiara sebelum siap-siap ke kantor. Dan Jidan selalu pakai saya-kamu meski Kiara sudah mengatakan kalau lelaki itu boleh memakai sapaan yang lebih nyaman.

Tapi rasanya, kalimat yang baru saja Jidan katakan itu berhasil mengubah pandangannya tentang Jidan yang sebelumnya selalu ia kira sebagai orang yang kaku dan dingin. Jika kebanyakan orang menyuruh untuk berhenti menangis, mengatakan kalau tak perlu menangis terlalu banyak untuk suatu hal bodoh, sayang air mata, tapi tanpa ingin tahu ada apa atau karena apa, Jidan justru menyuruh Kiara untuk menangis lebih banyak dan lebih keras.

"Maaf ..., saya terlalu banyak ngomong, ya." Jidan mendengus, menunduk.

"Makasih," ujar Kiara, membuat Jidan kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Kiara yang duduk di sampingnya. "Makasih udah nyuruh aku nangis."

Jidan tersenyum. "Kata orang, nangis itu bikin sehat."

Kiara tertawa, dan Jidan seketika meringis, merasa konyol pada dirinya sendiri. "Bisa ngurangin kalori dalam tubuh juga nggak?" tanya perempuan itu.

"Saya ... nggak tahu."

"Kalau iya, enak banget dong, ya. Aku bisa sekalian diet."

Jidan ikut tertawa pelan. Namun tawa itu langsung berhenti begitu telinganya menangkap suara Gladys yang sudah hampir sampai ke ujung tangga atas setelah tadi ia mengambil makanan dari ojek online dan memangglil Reza untuk bergabung bersama mereka di rooftop—tentu saja itu semua rencana Gladys. Jidan dan Kiara tak punya tenaga untuk menolak atau sekadar memberi masukan lain. Mereka cuma iya-iya aja waktu Gladys menyarankan mereka untuk berkumpul sambil makan sesuatu. Seperti dihipnotis, mereka semua setuju begitu saja untuk Gladys memesan seloyang pizza dan es boba.

Tak lama, perempuan itu muncul bersama dua kantong plastik di tangannya; pizza dan es boba itu. Reza mengekor di belakangnya, membawa kantong plastik juga, entah apa isinya, Jidan tak berusaha untuk menebak.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang