"Jadi gimana rasa bibir gue?"
Jidan langsung terbatuk, tersedak es krim yang sedang ia makan.
Gladys menatap dengan datar. "Berapa nilainya?"
Mereka saling bertatapan, dan mendadak wajah Jidan kembali terasa merah. Ia beruntung karena di sana tak terlalu terang, maka Gladys tak bisa melihat wajahnya yang merah.
Sebenarnya Jidan juga tak mengerti kenapa ia masih bisa bertahan bersama Gladys saat ini, di rooftop, di bawah taburan bintang di langit, di atas dipan kayu sembari memakan es krim setelah tadi ia dengan berani memberikan ciuman pertamanya pada Gladys hanya demi membungkam mulut perempuan itu yang terus berkata kasar yang tak ia suka.
Ia tak tahu dapat keberanian dari mana untuk melakukan hal itu, ia hanya mengikuti apa kata hatinya yang ia sendiri tak tahu apa yang terjadi pada hatinya saat ini. Apa artinya? Apa yang sebenarnya ia rasakan? Rasanya asing, menyakitkan, tapi juga bahagia dalam waktu yang sama. Jidan hanya mengerti bahwa lagi-lagi hatinya berhasil memenangkan pertarungan dengan otak untuk melakukan sesuatu.
Ya, akhir-akhir kalau berhadapan dengan Gladys, ia terlalu banyak mengambil keputusan menggunakan hatinya, bukan lagi otak seperti yang seharusnya. Apa ia jadi bodoh?
Tapi saat Jidan mendapat keberanian untuk mencium Gladys beberapa saat lalu, ia juga sudah siap jika perempuan itu menamparnya di saat yang sama. Namun yang terjadi bukan seperti itu. Saat Jidan melepas ciuman yang hanya menempel selama beberapa detik itu, ia menatap Gladys yang jaraknya sangat dekat, menunggu perempuan itu untuk memberi reaksi. Dan yang terjadi, Gladys yang juga hanya diam menatapnya, sayangnya Jidan tak bisa menebak apa arti raut wajah Gladys saat itu. Otaknya benar-benar tak bisa berpikir dengan jernih.
"Saya ... udah beliin es krim buat gantiin es krim kamu yang tadi," susah payah Jidan mengatakan kalimat itu setelahnya.
Gladys langsung merebut kantong plastik yang Jidan bawa, lalu begitu saja kembali duduk di depan seolah ia tak merencanakan pergi dari sana sebelumnya.
Jidan masih bengong di sana, lalu menoleh ke arah Gladys yang sudah membuka satu bungkus es krim, menatap Jidan tanpa kata.
"Karena gue baik hati dan tidak sombing, lo boleh makan es krimnya juga," Gladys menggoyang-goyangkan kantong plasti berisi es krim itu. "Keburu cair soalnya, nanti malah kebuang. Lagian lo kenapa beli banyak banget, sih? Mau bikin gue diare gara-gara makan es krim banyak-banyak?" ia menatap galak.
Jidan bertanya-tanya, bagaimana Gladys bisa bersikap biasa saja setelah Jidan tadi menciumya? Ya, meski bukan ciuman seperti yang dilakukan di film-film barat, melainkan cuma saling menempel, tapi tetap saja itu namanya ciuman. Apa Gladys sudah biasa melakukannya? Atau justru karena cuma saling menempel? Dan perempuan itu tak menganggapnya sebagai ciuman, makanya ia bisa biasa saja.
Tapi yang terpenting dari itu semua, Gladys sudah tak lagi marah padanya—setidaknya tak ada lagi ucapan kasar dan teriakan yang memekakkan telinga. Meski Jidan jadi bingung sendiri menghadapi situasi yang baru pertama kali ia rasakan ini.
Haruskah ia bersikap biasa saja seperti yang Gladys lakukan padanya?
Atau mencoba membahasnya dengan risiko keadaan akan semakin canggung?
Tapi itu ciuman pertama Jidan! Ia tak bisa bersikap biasa saja seolah ia tak melakukan apa pun tadi! Tapi ia juga tak mau keadaan semakin canggung dan semaki rumit karena masalah yang sebelumnya pun belum selesai, ia tak mungkin menambahnya dengan masalah yang baru.
Jidan nyaris gila dengan pikirannya sendiri sampai tiba-tiba Gladys memecah keheningan dan lamunannya dengan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan akan keluar dari mulut perempuan yang ia berikan ciuman pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.