Keluar dari kamarnya untuk berangkat ke sekolah, Jidan sudah mendengar bunyi berisik alat masak yang beradu di dapur lantai bawah, juga aroma harum masakan yang pelan-pelan membelai hidungnya dan membuatnya lapar.
Semalam karena terlalu sibuk mengecek data nilai siswa dari semester sebelumnya, juga mempersiapkan bahan mengajar hari ini, Jidan tak sempat keluar untuk mencari makan, dan tahu-tahu waktu sudah malam hingga rasanya mau beli makanan lewat aplikasi pesan-antar pun ragu karena pasti sudah banyak resto atau warung makan yang tutup. Hingga akhirnya ia hanya memasak sebungkus mi instan dengan telur yang sudah disediakan Sadewa dalam satu kardus khusus saat ia mengantar kakaknya pindahan. Untuk hal perhatian terhadap Jidan, Sadewa memang masih juaranya. Sebab kalau bukan karena Sadewa, mana mungkin Jidan kepikiran untuk membeli sekardus mi instan dan berbungkus-bungkus makanan ringan untuk persediaan di dalam kost.
Meski begitu Sadewa benar-benar selalu memperingatkan Jidan untuk tak terlalu sering makan mi instan hanya karena malas keluar mencari makan. Beli makan di aplikasi pesan-antar pun sesekali saja demi menghemat pengeluaran. Juga menyuruh Jidan untuk bergaul dengan teman kostnya yang lain.
Dan, "Please, senyum. Jangan cemberut terus. Senyum!"
Begitu katanya.
Tapi kalau sedang lapar begini, bagaimana Jidan bisa tersenyum dengan baik?
Untuk itu, ketika Jidan mencium aroma masakan yang sepertinya sangat enak, perutnya tiba-tiba bunyi. Ia berniat membeli sebungkus roti dalam perjalanan ke sekolah nanti, untuk mengganjal perutnya sampai jam makan siang.
Dengan pakaian yang sudah rapi, tas ransel berisi laptop, buku, dan segala keperluan mengajar lainnya yang disampirkan di sebelah bahunya, Jidan menuruni anak tangga setelah melirik sejenak ke pintu kamar Gladys dan Kiara yang masih sama-sama sunyi. Sejenak, Jidan iri pada pegawai kantor yang baru masuk pukul sembilan hingga punya waktu tidur sedikit lebih lama darinya yang harus sudah sampai di sekolah pukul tujuh pagi.
Jadi, siapa yang sedang memasak di dapur?
Reza? Lelaki itu pun mungkin masih tidur.
Jidan berjalan sedikit ke arah belakang dan menemukan Gladys sedang menggoyang-goyangkan pinggulnya di depan kompor dengan tangan yang sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan, dan bernyanyi dengan suara sumbang, jelek, dan bahasa yang tidak jelas. Jidan bergidik ngeri, ia sudah akan berbalik untuk langsung meninggalkan perempuan itu meski sedikit kagum bahwa ternyata Gladys memang benar-benar bisa masak seperti yang dikatakan tempo hari—entah masakannya enak atau tidak, yang penting bisa berdiri di atas kompor dan membuat sesuatu di dalam wajan atau panci, sudah bisa disebut bisa masak—ketika kalah cepat dengan Gladys yang berbalik setelah mematikan kompor dan menemukan Jidan di sana.
Perempuan itu tersenyum lebar. "Pak Guru …," sapanya dengan riang.
Jidan menahan napas sejenak mendengarnya, memejamkan mata sebelum memaksakan diri untuk menoleh kembali ke arah sana meski tetap tak berhasil untuk tersenyum seperti pesan Sadewa yang menyuruhnya untuk lebih sering tersenyum pada orang lain.
"Mau berangkat, ya?" Gladys berjalan menghampiri, Jidan menatap khawatir.
Dari penampilannya, sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu belum mandi. Rambutnya dijepit asal, belum lagi tanktop dan celana pendek kebanggaannya yang sepertinya jadi seragam tidurnya setiap malam meski cuaca sedang dingin. Meski tak ada jejak air liur di pipi atau kotoran di sudut mata, wajah polos tanpa makeup itu bisa membuktikan bahwa tebakan Jidan benar.
"Baru juga jam setengah tujuh. Mau ngapain sih di sekolah? Bantu nyapu sama ngepel petugas kebersihan?" Dia terkikik menyebalkan.
"Sekolah mulainya jam tujuh lewat sepuluh menit," balas Jidan.
![](https://img.wattpad.com/cover/367578322-288-k758202.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.