Setelah Narga dan motor matic-nya itu pergi, Jidan yang merasa sudah tak punya kepentingan lagi di sana—sejak awal pun ia memang tak punya kepentingan—kembali melangkah menuju tempat tujuan awal, tanpa kata meninggalkan Gladys di sana. Dan melihat hal itu, Gladys dengan langkah pendeknya menyusul langkah panjang Jidan, begitu saja mengaitkan tangannya ke tangan Jidan, membuat Jidan kembali menghentikan langkah dan menatap terkejut, berusaha melepaskan diri sebelum mengatakan apa pun, namun Gladys begitu kuat.
Ya …, meski Jidan itu lelaki yang punya kekuatan lebih besar dari seorang perempuan, dalam beberapa situasi dan kondisi seorang lelaki jelas akan memilih meredam kekuatannya, bukan karena ingin mengalah, tapi karena kekuatannya takut menyakiti perempuan. Bayangkan kalau Jidan dengan keras mendorong Gladys untuk melepaskan tangannya, mungkin perempuan itu akan jatuh tersungkur. Sekarang Jidan sedang berusaha untuk menahan diri daripada harus berurusan dengan polisi gara-gara membuat seorang perempuan terluka.
"Kok ninggalin, sih?" tanya Gladys, mendongak untuk menatap Jidan yang jelas lebih tinggi darinya.
"Kamu ngapain?" Jidan balik bertanya, menatap tangan Gladys yang bergelayut manja di tangannya. Agak merinding. Belum pernah ada seorang perempuan yang melakukan itu padanya. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir.
"Padahal tadi gue yang nanya, dan belum dapet jawaban." Galdys berdecak. "Lo mau ke mana malem-malem gini sendirian? Mau ketemu pacar, ya?" Matanya memicing.
"Bukan."
"Terus?"
"Mau ke depan. Cari makan. Kata Eza, di deket tangga halte ada warung makan yang enak. Saya mau ke sana."
"Oh, Bu Suk?"
Mata Jidan melebar seketika. "Busuk?"
"Iya, Bu Suk."
"Maksudnya …, makanannya busuk?"
Gladys tiba-tiba tertawa, sangat keras tanpa sibuk menutup mulutnya dengan tangan seperti yang biasa kebanyakan perempuan lakukan kalau tertawa. Tidak perlu anggun sebab namanya bukan Anggun. "Bukan gitu maksudnya, Pak Guru. Tapi Bu Suk. Bu Sukma. Nama yang punya warungnya Bu Sukma. Singkatan. Masa gitu aja nggak tahu, sih?"
Jidan mengerutkan kening. "Emangnya saya harus tahu semua singkatan yang ada di dunia ini?"
"Ya, nggak, sih. Tapi karena sekarang lo udah tahu, ya udah, yuk. Gue tunjukin tempatnya di mana."
"Ngapain? Saya bisa ke sana sendiri." Jidan kembali berusaha melepaskan tangannya dari pelukan Gladys. "Dan tolong …, lepasin ini."
Bukannya melepaskan, Gladys justru tambah mempererat. Telapak tangannya bahkan kini saling menempel dengan telapak tangan Jidan. "Woah …, lihat! Lo gede banget." komentarnya melihat perbandingan tangan mereka. "Pasti yang lainnya juga gede." Ia mengerjap, menatap Jidan dengan senyum yang ia buat semanis mungkin.
Jidan nyaris sesak napas. Baru dua hari ini tinggal dan bertemu dengan Gladys—atau mungkin satu karena kemarin ia sama sekali tak bertemu perempuan itu, bahkan mengira perempuan itu pergi dan tak ada di kamarnya. Tapi dalam jangka waktu sesingkat itu ia sudah bisa merasakan gejala stres berat. Ia tetap rutin meminum obatnya sesuai jadwal, tapi entah kenapa rasanya tak mempan. Kalau dalam satu minggu atau paling lama satu bulan ia tak tahan dengan semua hal yang menimpanya saat ini—terutama perempuan yang sekarang sedang menuntunnya, lebih tepatnya menyeretnya menuju warung makan yang ia tuju, Jidan akan memilih pindah.
Ia akan bilang pada Sadewa setelah sampai kamarnya. Menelepon adiknya itu untuk mengajukan keluhan karena bagaimanapun, kostan ini Sadewa yang menemukannya, bahkan dengan percaya diri mengatakan kalau Jidan pasti akan betah dan akan mengubah hidup Jidan ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.