Jika Jidan melihat Gladys sebagai perempuan gila akibat usulnya agar mereka pacaran dengan syarat yang aneh, tak masuk akal, tak biasa, bahkan memang gila, Jidan tak perlu khawatir soal itu karena Gladys juga mengakui kalau dirinya gila. Jadi Jidan tak sendirian.
Pagi-pagi sekali Gladys sudah bangun dan ia baru menyadari betapa gilanya semalam saat mengusulkan berpacaran dengan Jidan. Tapi lebih gila lagi karena Jidan menyetujuinya. Agaknya Gladys agak terguncang hati dan pikirannya saat lelaki itu tiba-tiba menciumnya.
Astaga! Itu bahkan bukan ciuman pertama Gladys seperti halnya Jidan, tapi entah kenapa ia bisa sampai sebegitunya merasakan degup jantung yang seolah bisa melompat dari tempatnya, yang membuat waktunya seolah terhenti untuk sesaat, darah berdesir dengan mendidih, dan perasaan lelah, resah, hingga beban yang selama ini menumpuk terasa terangkat untuk sejenak. Gladys tahu itu bukan sekadar terkejut karena Jidan menciumnya secara tiba-tiba, tapi karena hal lain yang Gladys tak tahu apa. Ia hanya kembali teringat pada sosok Bintang, cinta pertamanya, pacar pertamanya.
Tapi karena perasaan itu juga yang membuat Gladys dengan kesadaran penuh, mengajak Jidan untuk berpacaran—sebuah game dengan peraturan spesial. Meski sebelumnya ajakan itu hanya candaan semata, untuk menggoda Jidan karena reaksi yang dimunculkan lelaki itu sangat Gladys sukai, tapi semalam tiba-tiba Gladys serius dengan ajakan itu. Untuk melampiaskan perasaannya; rasa rindu, juga rasa bersalah yang empat tahun ini sudah terlalu memupuk di hatinya.
Gladys memang jahat, memanfaatkan Jidan untuk segala rasa sakit yang dideritanya. Tapi bukan salahnya ketika Jidan dengan kurang ajar selalu mengingatkannya pada dua orang yang sudah pergi meninggalkannya. Tak apa, toh Gladys sudah pernah membunuh sahabatnya sendiri, jadi kejahatan yang satu ini bukan masalah besar.
Gladys terbangun dengan perasaan gundah. Ia masih punya banyak waktu untuk berangkat ke kantor, tapi sudah tak bisa tidur lagi. Berniat memutar lagu dangdut dengan speaker bluetooth kesayangannya, kemudian teringat kalau Jidan melarangnya.
"Argh!" ia mengerang. Untuk pertama kalinya Gladys patuh pada perintah orang lain yang bahkan tak sedang bersamanya saat ini. Ia selalu memastikan kalau dirinya hidup bebas dengan melakukan apa pun yang ia inginkan, tapi sekarang ia tak bisa, ada peraturan yang harus ia patuhi, dan entah kenapa Gladys tak ingin melanggarnya.
"Brengsek!" umpatnya pelan. Kemudian menutup mulut dengan cepat saat wajah Jidan tiba-tiba muncul di hadapannya, tersenyum kecil sembari mengingatkan kalau Gladys tak boleh lagi bicara kata-kata kasar. Ia buru-buru menyingkirkan bayangan wajah itu dari hadapannya. Di waktu sepagi ini ia sudah setres karena dalam beberapa menit saja hidupnya sudah penuh dengan Jidan tanpa ia sangka-sangka.
Kalau sudah seperti ini, biasanya Gladys akan menggunakan waktunya untuk masak, tapi ia sedang tidak ingin, tenaganya seperti habis hanya dalam beberapa menit setelah bangun. Dan ini karena Jidan!
"Halo, Ma?" Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon sang mama.
"Lho? Kamu udah bangun? Tumben."
Gladys mendengus. "Bangun terlalu pagi salah, bangun siang salah."
"Ya, biasanya juga mepet mau ke kantor baru bangun, kan? Kenapa? Mau minta resep buat bikin sarapan? Sarapan tuh yang simpel-simpel aja, Dys. Nggak usah yang ribet-ribet."
"Nggak. Aku nggak lagi pengin ngapa-ngapain. Cuma mau telepon. Mama sibuk?"
"Ini Mama baru mau masak buat sarapan Papa."
"Ya udah deh kalau gitu, aku tutup, mau mandi aja."
"Eh, weekend ini kamu jadi pulang, kan? Papa udah nanya aja dari kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.