Jidan sedang berada di balkon ketika Gladys sampai di kostan. Ia sebenarnya punya waktu untuk masuk ke kamarnya, menghindar dari cewek gila yang dalam beberapa hari ini saja sudah membuatnya stres kalau saja tahu sejak perempuan itu bari sampai depan pagar atau masih berjalan di gang karena kenyataannya Jidan bisa melihat itu dari balkon lantai dua, namun yang terjadi adalah Jidan tak menyadari hal itu karena begitu asyik teleponan dengan Sadewa.
Jidan tidak akan mengatakan kalau Gladys itu jelek, atau tak sedap dipandang. Perempuan itu cantik—ya, semua perempuan memang cantik, tapi Jidan bisa mengakui kalau Gladys lebih dari sekadar cantik, seakan semua yang ada di wajah bahkan tubuhnya dipahat sedemikian rupa dengan perbandingan yang pas antara satu dengan yang lainnya. Tapi meski hanya dengan melihat perempuan itu dari kejauhan, entah kenapa sudah berhasil membuat Jidan merinding, apalagi kalau sudah mendengar suaranya yang menggelegar seolah bisa menggetarkan dunia.
"Pak Guru ...," seru perempuan itu saat masih di ujung tangga dan matanya sudah bisa menangkap keberadaan Jidan di balkon.
Nah, itu.
Sapaan itu.
Ia dipanggil begitu di sekolah, bahkan Mak Idah dan beberapa tetangga yang mulai mengenalnya pun memanggilnya dengan sebutan Pak Guru, tapi panggilan yang keluar dari mulut Gladys rasanya berbeda, membuat bulu kuduknya seketika meremang hebat.
Jidan meringis, berusaha tersenyum seperti yang Sadewa selalu katakan setiap menghubunginya lewat telepon atau pesan singkat, bahkan beberapa saat lalu adiknya itu pun mengingatkannya lagi untuk selalu tersenyum pada orang. Mungkin setelah ini Sadewa harus memberinya pengecualian terhadap Gladys.
"Lagi apa?" tanya perempuan itu dengan riang. Tak perlu repot-repot ke kamarnya dulu untuk menaruh tas atau merebahkan tubuh karena sudah kerja seharian, perempuan itu memilih langsung menghampiri Jidan.
"Habis telepon," jawab Jidan, menunjukkan ponselnya.
"Sama siapa? Pacar?"
"Bukan. Adik saya, Dewa."
"Oh, adik lo yang gantengnya level max itu? Gue juga tadi siang chatting-an sama dia."
Mata Jidan seketika melebar. "Kamu chatting-an sama Dewa?"
Gladys mengangguk tanpa pikir panjang. "Iya. Kenapa? Dia nggak bilang?"
"Nggak."
"Ya, iya sih, ngapain juga laporan sama lo?" Gladys terkikik. "Ngomong-ngomong, gue boleh kan deketin adik lo?"
"Kamu suka sama Dewa?"
"Nggak, sih. Cuma pengin deket aja, siapa tahu bisa gue manfaatin."
Jidan melongo, lalu kesal dengan alasan yang tentu saja sudah jelas karena pernyataan yang barusan ia dengar. "Dewa punya pacar," ujarnya kemudian.
"Gue nggak nanya, dan gue nggak peduli. Selagi janur kuning belum melengkung, masih bisa gue tikung," balas Gladys dengan enteng yang semakin membuat Jidan sebal tapi ia berusaha untuk tak menunjukkannya secara terang-terangan meski ia tahu ini akan membuatnya stres. "Terus kalau lo ... udah punya pacar belum?" tanyanya seraya menatap Jidan dengan tatapan genit dan tiba-tiba saja bergerak untuk lebih dekat dengan lelaki itu, membuat Jidan seketika melangkah mundur.
"K-kenapa?" Dan kenapa ia tiba-tiba gugup? Karena pertanyaannya atau karena jarak mereka yang begitu dekat? Sangat dekat menurut Jidan karena tubuh mereka nyaris bersinggungan, dan itu membuatnya agak tak nyaman.
"Kalau lo belum punya pacar, gue deketin lo aja deh." Gladys mengibaskan rambutnya yang sudah lepek itu.
"Udah. Saya udah punya pacar," jawab Jidan secara spontan tanpa pikir panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.