#11 marah

454 91 5
                                    

warning: blood, suicide, marah-marah

-

Dibanding dengan guru-guru yang lain, Jidan jelas jadi yang terlambat dalam mengerjakan pembuatan soal ujian PTS yang tinggal seminggu lagi itu. Tapi mereka semua memaklum karena Jidan jelas punya banyak pekerjaan yang harus dikejarnya sebelum itu, dan Jidan diberi perpanjangan waktu cukup untuk mengumpulkan soal itu sebelum dicetak dalam jumlah banyak dan digunakan untuk PTS.

Hari ini, sepulang sekolah, Jidan yang biasa tidur siang untuk memulihkan energinya yang habis kini langsung membuka kembali laptopnya dan memeriksa ulang soal yang dibuatnya. Soal itu harus sama dengan pelajaran yang sudah diberikan selama beberapa bulan ini, kalau melenceng sedikit saja, biasanya para murid akan melakukan protes yang nantinya berimbas pada kegaduhan orangtua murid di forum terbuka sekolah. Mereka para guru benar-benar harus berhati-hati. 

Sebelum di Bina Bakti, Jidan mengajar di sekolah swasta lain sebelum memutuskan berhenti setelah tahun ajaran tersebut habis. Dia menganggur lebih dari satu semester sebelum akhirnya bisa bekerja di Bina Bakti, itu pun berkat dukungan yang tak henti Sadewa dan dokternya berikan.

Tahun lalu, kondisi Jidan memang bisa dikatakan yang terburuk dari tujuh tahun terakhir setelah dokter sudah mengatakan bahwa sudah membaik. Sepuluh tahun berlalu sejak kejadian tersebut, Jidan belum bisa melupakan—memang tidak bisa dilupakan, namun dokter mengatakan bahwa bagaimanapun Jidan harus menerima, harus memaafkan dirinya sendiri, harus bisa berpikir bahwa kematian kedua orangtuanya bukan salahnya. 

Jidan membenci dirinya sendiri lebih dari apa pun. Semua hal tentang kejadian itu seolah menghantamnya secara betubi-tubi, tidak kenal kata ampun, tidak kenal waktu, tidak pernah lekang oleh waktu. Dan tahun lalu, hukuman itu kembali menghantuinya. Membuatnya tersekat, seperti kehilangan arah, dipaksa mundur ke belakang, dan yang paling parah kehilangan motivasi untuk tetap hidup lebih lama.

"Jidan, kamu harus pikirkan adik kamu—"

"Adik saya kehilangan orangtuanya karena saya, Dok," potong Jidan saat untuk yang kesekian kalinya datang menemui seorang dokter psikologi yang menangani kasusnya. 

"Tapi, apa kamu nggak pernah memikirkan bagaimana kalau dia kehilangan kamu juga?"

Satu hal yang membuat Jidan berhenti berpikir untuk mati. Lama dia menatap Sadewa setelah itu. Wajah lelahnya, kantung mata yang menggelap, tatapan iba, raut khawatir, semuanya berpadu menjadi satu, berdiri cemas di hadapannya. Dia sudah melihat bagaimana anak itu menangis meraung-raung saat orangtua mereka pergi, tapi dia juga sudah melihat bagaimana anak itu menangis histeris saat harus menemukan sang kakak lemas tak berdaya bersimbah darah.

"Begini saja, bagaimana kalau kita ubah aturannya?"

Jidan menatap sang dokter penuh tanya. "Kalau kamu nggak mau hidup untuk diri kamu sendiri, hiduplah satu hari lagi untuk orang yang kamu sayang."

"Satu hari?"

"Iya, satu hari. Kalau di hari itu kamu masih sayang sama dia, kamu harus hidup satu hari berikutnya. Begitu terus sampai kamu rasa kamu nggak sayang lagi sama orang tersebut."

Satu hari itu kini sudah berjalan berbulan-bulan, nyaris satu tahun. Tanpa percobaan bunuh diri, tanpa berpikir untuk mati, tanpa berpikir untuk pergi meninggalkan. Satu hari yang kemudian terkepang rapi menjadi satu untaian yang meski bentuknya jelek, Sadewa akan jadi yang paling mengapresiasi hal tersebut. Sadewa pula yang sangat senang ketika Jidan mengatakan bahwa dia ingin kembali mengajar, meski kemudian melarang karena jarak sekolah tersebut sangat jauh sehingga mereka harus tinggal terpisah.

Tapi apa boleh buat? Sadewa akhirnya menyetujui dengan syarat, Jidan harus memberi kabar setiap hari. Tentang kegiatannya, tentang makanan yang dimakannya, juga tentang obat yang rutin dikonsumsinya. Juga karena pesan dokter padanya, bahwa Jidan memang harus melihat dunia di luar lingkungannya selama ini. Dia harus bertemu dengan lebih banyak orang yang mungkin di antaranya akan berhasil membuat Jidan benar-benar sembuh dari traumanya.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang