#02 sinting

663 103 12
                                    

Gladys tidak pernah benar-benar punya seseorang yang ia sebut sebagai teman. Teman dekat, teman akrab, teman yang ke mana-mana selalu bareng, teman yang suka berbagi cerita. Seorang sahabat. Atau lebih tepatnya, ia yang tak mau bersahabat dengan siapa pun. Sebab dulu, ia pernah punya orang yang ia sebut sebagai sahabat, tapi ia sendiri gagal menjadi sahabat, dan malah kehilangan sahabatnya dengan cara yang paling menyakitkan.

Gladys menganggap siapa pun orang yang menjadi sahabatnya, yang punya status baik dengannya, akan pergi meninggalkannya dengan cara yang paling menyakitkan.

Ia tak mau itu terjadi lagi.

Ada seorang cowok di kantor tempatnya magang—bukan pegawai kantor, hanya seorang barista biasa yang kebetulan cukup dekat dengan Gladys. Bukan teman apalagi sahabat, Narga hanya sekadar barista di sebuah kedai kopi yang menempati lantai bawah gedung kantor, yang kebetulan adalah senior Gladys dulu di kampus. Narga kuliah di kampus yang sama dengan Gladys dan baru lulus setahun yang lalu.

Hubungan mereka terlihat cukup akrab, bahkan beberapa pegawai kantor atau barista lainnya menganggap mereka sepasang kekasih meski kalau ketemu bisa saling mengumpat kata kasar atau saling menendang bokong—Gladys yang sering melakukannya. Namun nyatanya, Gladys tak pernah menganggap hubungan mereka lebih dari sekadar hubungan senior-junior, walau tak sekalipun Gladys bersikap sopan kepada Narga yang dianggap sebagai seniornya. Sebab, untuk apa bersikap hormat pada cowok itu ketika Narga sebenarnya gila dan agak sinting karena suka dengan pembimbing Gladys di kantor yang galak dan menyebalkan?

Pembimbing magang Gladys yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu kostnya sendiri. Kiara. Mungkin ini menjadi alasan kenapa Narga tahan dengan sikap tak sopan Gladys, demi bisa dekat dengan Kiara, pembimbing sekaligus teman kost Gladys. Juga karena makanan enak yang suka Gladys bawa untuknya. Gladys pintar masak, dan Narga harus mengakui semua masakannya enak dan cewek itu sangat baik hati mau selalu berbagi dengannya.

Pagi ini Gladys datang terlambat. Terseok-seok masuk ke kantor untuk menghadap ke Kiara yang pasti akan mengomelinya habis-habisan, sebab meski ini adalah pertama kalinya, Kiara sudah mengingatkannya sejak minggu kemarin kalau Senin ini mereka akan pergi ke pabrik untuk melihat produksi, dan Gladys sangat bersemangat untuk melihat bagaimana sebuah eyeshadow dibuat dan dicetak ke tempatnya sebelum kemudian dipasarkan. Ia sudah siap mencatat dan menulis laporan, ia bahkan sudah sangat siap menceritakan hal ini di laporan akhir magangnya nanti.

Tapi nasib berkata lain.

Seharian penuh kemarin ia tak keluar kamar demi menamatkan drama Korea yang sudah lama ingin ia tonton itu. Dan itu berlanjut sampai tengah malam hingga ia tidur begitu larut dan bangun terlambat meski alarmnya sangat bising karena Kiara selalu mengomel soal itu dan Mas Rion, yang biasa memberinya tumpangan ke kantor karena sekalian mengantarkan anaknya ke sebuah daycare yang letaknya tak jauh dari kost Galdys hari ini tak masuk ke kantor karena anaknya itu sedang demam.

Double combo!

Terlambat, diomelin Kiara lewat sambungan telepon, tak jadi ikut ke pabrik karena Kiara sudah lebih dulu berangkat bersama teman magangnya yang lain, dilempar pekerjaan ke tempat lain, ke kepala divisi yang terkenal menyebalkan dan sangat sadis pada anak magang, dan punya kepala botak dan gendut.

Gladys hanya beruntung tak pingsan hari ini.

Atau mungkin nyaris pingsan.

Ya, nyaris.

Sebab setelah akhirnya jam pulangnya tiba, ia tak punya tenaga untuk berjalan lebih jauh ke halte depan untuk pulang—tak mau naik ojek karena saat ini hujan dan pasti ongkosnya melonjak, lagi pula, pagi tadi ia sudah naik ojek karena selain Rion tak ada untuk memberinya tumpangan, naik busway akan jadi pilihan paling konyol di saat ia sudah tahu terlambat.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang